Selasa, 01 Maret 2011

Masuknya benih Iman Katolik ke Kelanit

Bab II ini mengisahkan keadaan kampung Kelanit sebelum tahun 1902. Dalam bab ini penulis juga akan melukiskan hal-hal yang berhubungan dengan penaburan benih Iman katolik di kampung Kelanit pada waktu itu.
Berbicara tentang masuknya Agama Katolik di Kelanit, maka tidak boleh kita lewatkan sejarah umum tentang masuknya Agama Katolik di Maluku dan kepulauan Kei khususnya.
Agama Katolik masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke XVI dengan datangnya seorang pastor Yesuit berkebangsaan Spanyol yaitu FRANSISCUS XAVERIUS dan yang kini menjadi pelindung Keuskupan Amboina.Dengan kedatangannya itu penduduk Maluku terutama di pulau Ambon dan sekitarnya menjadi orang Katolik. Tercatat dalam sejarah Gereja bahwa pada tahun 1538 orang Ambon sudah mulai mengenal Agama Katolik.
Tahun 1546 sampai 1547 Fransiscus Xaverius bekarya di Ambon, Ternate dan Halmahera Utara.
Beliau pernah menulis surat kepada rekan-rekannya di Roma pada bulan Januari 1548 yang isinya antara lain: “Rangkaian kepulauan ini penuh dengan penghiburan rohani yang begitu mendalam dan tahan lama, maka layaknya kalau kepulauan ini dijuluki Kepulauan Pengharapan Dalam Allah
Pada tahun 1605, VOC mengeluarkan larangan kegiatan Gereja Katolik di Maluku. Hal ini tentu merupakan penghambat besar perkembangan agama kita. Karena lama tidak ada gembala yang melayani kebutuhan rohani umat Katolik dipulau Ambon dan sekitarnya yang ibarat anak ayam kehilangan induk, maka pada akhirnya mereka yang sudah Katolik berubah haluan dan menjadi penganut aliran Protestan. Dengan demikian tujuan akhir larangan VOC itu telah tercapai.
Kurang lebih 350 tahun kemudian barulah apa yang pernah ditulis oleh Fransiscus Xaverius dapat dipenuhi.
Kalau dalam tahun 1605 VOC yang pemimpinnya beragama Protestan berupaya menyebarkan gereja Protestan di pulau Ambon dan sekitarnya dengan melarang kegiatan Gereja Katolik, maka pada akhir abad ke XIX atas jasa seorang Protestan pulalah agama Katolik kembali lagi ke Maluku, tepatnya di Langgur kepulauan Kei.
Agama Katolik kembali ke Maluku dan berpusat di Langgur,atas jasa seorang warga Jerman bernama ADOLF LANGEN. Beliau menjadi direktur Firma Langen & Co di Tual sejak tahun 1882, dan ia juga mempunyai perusahaan lain di Nusa Tenggara.
Gagasannya untuk turut membantu penyebaran agama Katolik di sini (Kei) selain disampaikan kepada pembantunya VOVOT TELYOARUBUN yang berasal dari kampung Revav, juga disampaikan kepada orang-orang lain termasuk dari kampung Kelanit dan Bapak Andreas Kilmas memberikan kesaksian mengenai hal itu, berikut hasil wawancara kami dengan beliau:
Penulis : Coba bapak ceriterakan sedikit pengalaman tentang tuan Lang sebelum agama Katolik masuk ke sini (Kei)
Bpk. Andreas : Sebelum agama Katolik masuk, maka agama Islam sudah lebih dahulu hadir di Kei. Pada suatu hari saya dan Bpk.saya datang jual kayu balok di Tual. Kayu dijual kepada tuan Lang, tuan Kim dan tuan Wail. Tuan Lang waktu itu punya pabrik penggergajian kayu yang lokasinya di sekitar Masjid Raya Tual sekarang. Mereka ini orang Barat. Pada waktu itu kami ada nonton orang Islam buat upacara agama, maka orang Barat itu katakan kepada kami: “Nanti kami minta satu agama yang bagus untuk kamu”, Ini saya dengar langsung, bukan dari cerita orang lain, jadi anak harus percaya itu.
Menurut beberapa sumber sejarah, diantaranya “100 tahun perkembangan agama Katolik di kepulauan Kei” yang ditulis oleh Bpk PH.Renyaan, bab II menyebutkan bahwa pada suatu ketika sepuluh kepala kampung mendesak Bapak Adolf Langen untuk memperkenalkan agama Kristen kepada mereka, dan tergeraklah hatinya untuk menyebarkan iman kristiani kepada penduduk kepulauan ini, apalagi beliau sudah mengenal budaya Kei yang begitu baik.
Pada suatu kesempatan beliau pergi ke Batavia untuk bertemu langsung dengan Mgr.Adamus Carolus Claesens,Vikaris Apostolik Indonesia waktu itu untuk menyampaikan maksudnya. Namun sang Uskup membutuhkan permohonan tertulis untuk mempermudah urusan dengan pemerintah Belanda.
Sekembalinya ke Tual pada tanggal 24 Septembet 1886 tuan Lang mengirim surat kepada Mgr.Claesens untuk memenuhi anjuran beliau itu. Setelah menerima surat itu, Mgr.Claesens mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Otto van Rees, dan baru sekitar dua tahun kemudian Mgr.Claesens memperoleh izin resmi dari Gubernur Jenderal lewat suratnya tertanggal 10 Februari 1888.
Perlu diketahui bahwa kontak bapak Uskup dengan gubernur jenderal diadakan di istana Bogor pada tanggal 12 Oktober 1886, namun gubernur jenderal pada saat tatap muka itu belum memberikan jawaban, sebab perlu mengadakan peninjauan dan pengecekan langsung ke lapangan. Untuk itu beliau mengutus asisten residen Gorontalo Baron G.W.Van Hoevel untuk melakukan peninjauan tersebut. Pada bulan September 1887 Baron Van Hoevel datang di Tual untuk mempelajari sifat, watak dan budaya suku Kei, sekaligus meneliti apakah benar adanya keinginan masyarakat untuk menjadi Kristen atau tidak. Dalam bulan Desember 1887, Baron Van Hoevel memasukkan laporannya kepada gubernur jenderal Otto Van Rees, Laporan assisten residen Gorontalo itu memperkuat permohonan lisan Mgr. Claesens dan permohonan tertulis Adolf Langen, sehingga surat izin gubernur jenderal dikeluarkan.
Berdasarkan surat izin gubernur jenderal tersebut, maka Mgr.Claesens lewat surat keputusan tanggal 12 Mei 1888 menetapkan dan mengalih tugaskan :
1. Pastor Yohanes Kusters.SY (35 tahun) untuk membuka stasi baru di kepulauan Kei.
2. Pastor Yohanes Booms SY (38 tahun) untuk tugas yang sama
Mereka tiba di Tual dengan menumpang kapal Amboina pada tanggal 1 Juli1888 dan dijemput oleh Adolf Langen. Lewat cerita di atas terbukti apa yang telah diungkapkan Bpk. Andreas Kilmas tentang janji tuan Lang.
Ketika kedua Pastor itu mendarat, untuk sementara Pater Kusters menginap di rumah tuan Lang, sedang Pastor Booms menginapdi rumah Bpk Yoakhim (tuan Kim), seorang karyawan Adolf Langen yang beragama Katolik. Dapat dimaklumi bahwa di situ belum ada sebuah rumah tinggal khusus untuk kedua pastor, dan sesudah beristirahat beberapa hari, dalam bulan Juli 1888 kedua imam tersebut mulai mengadakan kunjungan perdana ke kampung-kampung dengan diantar oleh tuan Lang.
Kampung pertama yang dikunjungi adalah kampung Kelanit, kemudian Evu, Tetoat, Debut dan Leftuan . Walaupun kampung Kelanit yang pertama didatangi dan ditaburi iman Katolik, namun iman itu belum cepat bertumbuh.. Di setiap kampung yang disinggahi, mereka diperkenalkan oleh tuan Lang kepada penduduk sambil dijelaskan pula maksud dan tujuan keberadaan mereka di kepulauan Kei, sehingga kalau ada orang yang hendak mengikuti pelajaran agama, mereka boleh datang ke rumah tuan Lang di Tual.
Kita boleh bangga bahwa benih iman yang pertama yang jatuh di kepulauan Kei ada di kampung Kelanit, namun dibalik itu harus kita akui pula bahwa benih yang ditabur itu akan memakan waktu cukup lama untuk bertumbuh. Dan baru kira-kira tiga belas tahun kemudian benih ini menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan
Mengapa kampung Kelanit merupakan kampung pertama yang dikunjungi? Hal ini disebabkan karena
a. Kampung Kelanit letaknya dekat dengan Tual dan mudah dijangkau lewat laut.
b. Karena tuan Lang memiliki usaha di sini
c. Tuan Lang ingin mempersunting salah seorang gadis di sini.
Generasi penerus desa ini perlu juga mengetahui bahwa karena letaknya dekat, dan cukup tersedia bahan baku kayu untuk memajukan usahanya, maka tuan Lang telah mempercayai seorang putra kampung ini untuk menjadi mandor yang menjaga dan mengatur hasil kayu yang dibelinya di sekitar kampung ini
Sementara itu Mgr.Claesens dengan suratnya tertanggal 29 Mei 1889 memindahkan kembali pastor Yohanes Booms SY ke Larantuka, dan karenanya di Tual tinggal hanya seorang pastor tanpa umat asli Kei kecuali bapak Yoachim atau tuan Kim. Baru setelah dua bulan kemudian barulah terjadi peristiwa bersejarah di kepulauan Kei, yaitu baptisan pertama MARIA SAKBAUW (3th) oleh pastor Kusters SY di Langgur pada tanggal 13 Juli 1889, yang kemudian dilanjutkan dengan pembaptisan tanggal 4 Agustus dan 1 September tahun yang sama kepada puluhan orang dewasa di Langgur. Untuk memperlancar pelayanan umat, pastor Kusters SY kemudian mendirikan sebuah pastoran kecil di Langgur. Beliau menetap hampir 10 tahun di Langgur dan selama itu telah banyak umat yang dibaptis.
Tahun 1900 tersiar berita bahwa pastor Kusters yang kemudian dikenal dengan nama panggilan tu’an Tu akan dipindahkan, dan hal itu menjadi kenyataan yakni pada tanggal 22 Mei 1901 pastor Yakobus A.Mertens SY tiba di Langgur untuk menggantikan pastor Kusters SY.
Sebelum acara serah terima, tu’an Tu masih sempat tinggal bersama umat Katolik di kampung Ngilngof selama dua minggu, dan pada tanggal 26 Juli 1901 diadakan serah terima tugas dari pater Yohanes Kusters SY kepada pastor Yacobus A.Mertens SY dan pastor Bijsterveld SY, dan akhirnya pater Kusters atau tu’an Tu berangkat meninggalkan tanah Kei.
Menurut bapak PH. Renyaan dalam bukunya 100 tahun Agama Katolik di Kepulauan Kei” ada tiga perahu belang dan ratusan umat mengantar beliau ke kapal. Saat itu banyak umat yang mencucurkan air mata karena cinta mereka kepada rasul pertamaNya.
Rasul pertama ini mula-mula dipindah ke Malang dan dalam tahun itu juga dipindah lagi ke Padang, kemudian kembali ke Magelang, dan setelah mengabdi selama 37 tahun dalam tugas imamat di Indonesia, beliau dipanggil Tuhan pada tanggal 30 Agustus 1921 di Magelang.. Suatu kelebihan dari almarhum ialah bahwa selama bertugas di Indonesia beliau tidak pernah cuti ke tanah asalnya negeri Belanda.. Oleh panitia perayaan100 tahun Agama Katolik kembali ke Maluku di Langgur, akhirnya kerangka rasul pertama kepulauan Kei itu digali dan dibawa kembali dan dimakamkan di Langgur tepat di lokasi peringatan 100 tahun, berdampingan dengan taman ziarah Johannes Aerts MSC
Lokasi peringatan 100 tahun ini kemudian ditetapkan sebagai pusat agama Katolik di kepulauan Maluku oleh Mgr. A.P.C.Sol MSC dalam kotbahnya pada tanggal 13 Juli 1989.

1 komentar: