Minggu, 27 Februari 2011

NAMA DESA


Penulisan dan pengucapan nama desa GELANIT yang  keliru telah membudaya hingga kini dan merupakan masalah sosial yang perlu diluruskan. Tidak dapat disangkal bahwa nama GELANIT sudah dianggap sebuah nama yang baku. Namun kemudian ada dua nama yang digunakan ; nama ini lebih dikenal pada saat masuknya orang-orang Barat, terutama para pastor Belanda dan nama inilah yang tercatat dalam sejarah Gereja. Jadi tanpa disadari suatu kekeliruan sejarah mulai terpatri di kalangan umat setempat. Perlu juga disadari bahwa orang yang baru belajar suatu bahasa, pasti mengalami kesulitan dalam pengucapan.
Pada bagian ini penulis menyimpulkan kebenaran dari nama Desa ini dari hasil yang digali sebagai berikut :
1.      Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Andreas Kilmas pada tanggal 18 Januari 1979.
2.      Hasil wawancara penulis dengan Bapak Salvator Lefteuw, pensiunan guru pada hari Minggu tanggal 5 Desember 1982.
3.      Hasil wawancara penulis, sdr.Fredrik Lefteuw dan sdr Thoby Lefteuw dengan Bapak Kalean di Kelanit pada tahun 1994.[1]
Selain itu perlu dicatat bahwa nama desa ini pernah dibahas oleh Bapak pensiunan guru Salvator Lefteuw yang pada ketika itu masih aktif dengan Pastor Yoseph Clereks MSC pada tahun 1928.[2]
Menurut Pastor Yoseph Clereks MSC sesuai dengan catatan Tuan Bun, nama asli desa ini adalah “KOLANIT” yaitu karena menurut anggapan orang dulu bahwa siapa yang tinggal di tempat yang tinggi pasti berasal dari langit dan pengaruh ejaan, perlahan-lahan KOLANIT diucapkan sebagai “KELANIT”.
Dari sisi lain yakni sisi bahasa meskipun mengalami perubahan ejaan dari  KOLANIT menjadi KELANIT, namun masih tetap mempunyai arti karena kata KELANIT diuraikan dalam bahasa Kei menjadi Ke ental lanit yang artinya satu jari dari langit.
Ini menunjukkan tempat yang tinggi, sehingga masuk akal sebab yang dimaksudkan adalah Ohoi Keratat atau Ke Lanit itu sendiri, yang letaknya berada di atas puncak tertinggi di seluruh daratan Kei Kecil.
Pada masa penjajahan Belanda terutama setelah kepindahan dari El timur ke Ohoi Vihan sampai pada akhir abad XIX dan awal abad XX, para misionaris Eropah khususnya yan berasal dari negeri Belanda mulai masuk ke pelosok-pelosok untuk menabur benih iman Agama Katolik, maka nama kampung KELANIT dirubah sesuai ucapan mereka mejadi GELANIT.
Sekarang timbul pertanyaan, apa arti kata “GELANIT”? Penulis yakin bahwa tak seorangpun di kampung ini dapat menjawabnya. Apakah ini satu kata Melayu atau kata Latin atau bahasa Kei?
Kalau kita berbicara tentang suatu nama entah nama benda, nama orang, nama kampung atau Negara, pada umumnya nama itu diberikan sebagai suatu hadiah, kenangan atau penghargaan dari orang lain karena tertarik atau berdasarkan alasan tersendiri, kecuali dalam hal-hal khusus misalnya : perubahan nama seorang Paus atau seorang biarawati, akan ditentukan oleh yang bersangkutan sendiri.
Sejak awal mula pemberian nama itu sudah ada. Dalam kitab Kejadian 2:19 tertulis:” Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara, Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu.”
Semua nama itu seyogyanya mengandung arti serta maksud tersendiri sebagaimana pepatah Latin yang mengatakan “NOMEN EST OMEN” artinya “ NAMA ADALAH TANDA”.
Dari perspektif bahasa Kei tentang nama Kampung (Ohoi) Kelanit, penulis dapat menjelaskan sebagai berikut:
a.       Bila kita membolak-balik dengan seksama sebuah buku yang berjudul “MISIL-MASAL, LIAT-Dalil, SUKAT-SARANG Evav” cetakan ketiga, terbitan tahun 1989, yang merupakan hasil karya Alm. Bapak Philipus Renyaan, maka dalam kata pengantarnya di halaman 3 ditegaskan antara lain: “Kata-kata Evav asli tidak memiliki dua huruf mati yaitu (P) dan (G), sehingga kata Evav tidak tepat kalau ucapan “V” dituliskan dengan huruf “P”, contohnya Evav ditulis jadi EPAP. Demikian pula huruf “K” ditulis dengan huruf “G” misalnya “KELANIT” ditulis menjadi “GELANIT”    Dengan demikian maka sudah jelas bahwa kedatangan orang Barat pada umumnya dan para pastor Belanda yang membawa misi Gereja, dengan tanpa disadari telah sekaligus meletakkan dasar yang salah atau penyebab kekeliruan bagi nama desa Kelanit.
Penjelasan diatas menjelaskan akar permasalahan, yakni hanya karena kesalahan ejaan orang Barat yang menyangkut ucapan sehari-hari telah mempengaruhi tulisan-tulisan orang Barat itu sendiri
Contoh konkritnya : Mitu dari kampung kita yang dibawa sampai ke negeri Belanda (kota Leiden) disebut “WERWAT” padahal sebenarnya adalah “HAWEAR VAT” [3]
Apa yang telah dikemukakan oleh mantan ketua yayasan St.Willibrordus dalam buku tersebut, telah membuktikan suatu efek negatif terhadap bahasa Kei. Tak dapat disangkal bahwa lewat tulisan mereka, kata-kata bahasa Kei asli masih ada yang tersurat,namun ada juga kekurangan-kekurangan seperti yang telah diuraikan di atas.
b.      Kata “GELANIT” sampai saat ini belum terungkap arti serta maknanya yang jelas. Kembali lagi kita bertanya; ini bahasa Kei atau bahasa Melayu? Kata Gelanit tidak mengandung arti apa-apa, sebagai perbandingan kita dapat bertanya tentang nama semua Desa/Kampung di seluruh daratan Kei Kecil, dari Ohoidertutu di ujung Selatan sampai Ohoidertawun di ujung Utara, maka masing-masing nama Desa/Kampung diberi nama yang mengandung arti atau makna tersendiri, kecuali Kampung Gelanit.
c.       Kata KELANIT walaupun mengalami sedikit perubahan dari nama aslinya “KOLANIT” bila kita tinjau dari sudut bahasa maka masih memiliki arti.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kata KOLANIT memiliki hubungan arti dengan KELANIT. Keduanya memiliki hubungan maksud dan arti yakni tempat yang tinggi yaitu Langit.
Dikatakan demikian sebab kampung Kolanit berasal dari / dilahirkan oleh orang-orang “YAMIFAAK” yang berada di atas bukit. Berdasarkan artinya nama KELANIT yaitu “SATUJARI DARI LANGIT” maka secara logis dapat diterima sebab menurut pandangan orang dulu tempat yang tinggi itu adalah tempat yang dekat dengan langit.
d.      Selanjutnya menyangkut nama Desa Kelanit dapat kita ikuti cerita berikut ini:
Sekitar tahun 1906 sudah ada suatu gagasan yang disponsori oleh Alm. Guru Isaias Nai Kelanit.[4]
Perubahan yang dimaksud menyangkut nama Faam yang berbeda dengan nama kampung. Karena sampai saat itu nama Faam senantiasa sama dengan nama kampung. Sementara itu istilah Kelanit sudah populer di masyarakat. Namun karena beliau tahu dengan persis duduk permasalahannya maka beliau dengan berani mencoba gagasannya, yaitu berusaha merubah nama Faam Kolanit menjadi Faam ”HEMEL”. Sayang sekali penerapan gagasan itu hanya seumur jagung, karena setelah digunakan, akhirnya hilang dengan sendirinya, apalagi beliau sendiri tidak memiliki keturunan.
Nama kampung Gelanit semakin hari semakin dikenal penduduk sekitar, dan akhirnya dari hari ke hari semakin membudaya, dan sudah resmi digunakan pihak Gereja Katolik dan pemerintah Belanda.
Untuk memurnikan kembali nama Kampung /Desa ini, ada pula tokoh lain yang berupaya ke arah tersebut. Konon atas  prakarsa guru Salvator Lefteuw yang pada masa itu menjabat Kepala Sekolah Rakyat Katolik Gelanit pada masa perang Dunia II, ia dengan berani mengubah nama Sekolah Rakyat Katolik Gelanit menjadi Sekolah Rakyat RK Kelanit dan ini yang dikenal oleh Pemerintah RI.
Perubahan ini terjadi sejak tahun Ajaran baru 1954/1955 tepatnya tanggal 1 Agustus tahun 1954. Karena saat itu status SR III tahun, ditingkatkan menjadi SR VI tahun, sesuai dengan kriteria persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian PP & K RI pada waktu itu. Sejak saat itu semua adminstrasi sekolah tidak lagi menggunakan nama Gelanit tetapi KELANIT, termasuk nama Desa / Kampung, tapi ini hanya berlaku bagi administrasi sekolah.
Hal ini tentu mempunyai pengaruh. Mungkin dengan perhitungan biar lambat tapi pasti suatu  saat akan berhasil. Biar lambat asal selamat.
Sementara itu pihak pemerintah Desa sejak tahun 60 an baru ikut mengadakan penyesuaian nama, tepatnya tahun 1964 saat Bapak Herman Lefteuw menjabat sebagai ORANGKAY Kelanit, terus hingga zaman orde baru dan hingga kini dan seterusnya.
Dengan mulai digunakannya nama Desa Kelanit oleh SRRK Kelanit, maka sejak saat itu nama Kelanit digunakan hingga kini oleh Departemen Pendidikan Nasional dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai tingkat Pusat. Beratus-ratus ijazah,STTB, Surat keluar-masuk, SKEP Pengangkatan, mutasi guru dan pada berbagai surat dinas lainnya, digunakan nama KELANIT.
Dari pihak Pemerintah hal ini akhirnya lebih diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Undang-undang No.5 Thn. 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, dan kemudian sebagai tindak lanjut melalui Keputusan Gub.Maluku tentang penciutan Desa di Propinsi Maluku waktu itu, dimana salah satu isi Keputusan tersebut adalah terbentuknya Desa dan Dusun.
Berdasarkan daftar usulan Pemda Maluku Tenggara, maka desa Kelanit secara resmi berstatus sebagai Desa Definitif dengan satu anak desa yaitu Dusun Loon, dan hal ini mulai berlaku sejak tahun 1990.
Menurut pendapat penulis sendiri, penggunaan nama Kelanit sebagai nama Kampung/Desa adalah tepat, karena dari awal terbentuknya Kampung/Desa ini terletak diatas tanah pertuanan Marga Kelanit, walaupun sejak beberapa abad, mereka tinggalkan Kampung ini.


[1]   Untuk diketahui bahwa Bapak Kalean sesuai pengakuannya berasal dari Tanimbar Kei dan beliau adalah salah seorang turunan yang masih ada hubungan dengan sejarah desa ini.
[2]   Untuk diketahui bahwa Pastor Yoseph Clereks MSC tiba di Tual tanggal 24 Desember 1907 bersama Pastor Bernardus Thien MSC beserta sejumlah Misionaris lainnya.
[3]   HA sebagai suku kata pertama hampir tidak kedengaran. Yang terdengar adalah WEAR, tapi karena sulit diucapkan sehingga diucapkan sebabagi WER, dan akhirnya ditulit WERWAT (lihat terlampir artikel yang dibawa langsung daru Museum Leiden
[4]   Beliau berasal dari Desa Kolser dan menjadi guru agama di kampung Kelanit. Sebetulnya beliau adalah keturunan asli Faam Kelanit yang sudah pindah ke Kolser beberapa abad yang lalu.

1 komentar: