Selasa, 01 Maret 2011

Imam Pertama asal Kelanit.

Nama : Johanes (John) Lefteuw
Tempat / tanggal lahir : RS. Langgur – 23 Juni 1953
Pendidikan
1. TK (1 th) : Desa Letvuan 1957 – 1958
2. SD (6 th) : Desa Letvuan 1958-1959 1963-1964
3. SMP (4 th) : St.Yudas Thadeus Langgur 1965 – 1968
4. SMA (3 th) : Sanata Karya (Seminari) Langgur
1969 – 1971
5. KPA (1 th) : Ohoijang
6. Seminari Tinggi : Pineleng 1972 -1980 (Sarjana Muda
Theologi)
7. Dithabiskan imam : Langgur 1980
8. Gelar Drs : Theologi Moral di Roma 1985
9. Gelar DR : Theologi Moral di Roma 1987
a. Orang tua : Ayah Venantius Lefteuw (1909 – 1953)
Ibu Damiana Reyaan (1918 – 2000)
b. Keluarga : Petrus Lefteuw : 1935 - ± masa Jepang
Paschalina Lefteuw : Guru SD (1937-1996)
Prisca Lefteuw : 1938
Raymundus Mario
Lefteuw : 1940 - ± masa Jepang
Sara Lefteuw : 1941- ± masa Jepang
Marius Lefteuw: Guru SD 1945
Penulis buku ini
Theresia Lefteuw Muder PBHK regional
Maluku ( 1948 –
Thobias Lefteuw : Pengawai dinas PUD
(1950 -
Johanes Lefteuw : Pastor MSC di Jakarta
(1953 -

Pastor John Lefteuw MSC dithabiskan di Gereja Kathedral Langgur oleh Uskup Diosis Amboina Mgr. Andreas Sol pada tanggal 21 Septembe 1980 , yang pada waktu itu menthabiskan :
1. Diakon Izak Resubun MSC asal desa Ngilngof
2. Diakon Johanes Lefteuw MSC asal desa Kelanit
3. Diakon Herman Lingitubun MSC asal desa Waur
Dan misa pertama ketiga imam itu dilaksanakan pada tanggal :
1. Pastor Herman Lingitubun di Waur tgl 23 Sept 1980
2. Pastor John Lefteuw di Kelanit tgl 25 Sept 1980
3. Pastor Izak Resubun di Ngilngof tgl 27 Sept 1980
Khusus untuk persiapan Misa pertama Pastor John Lefteuw, jauh jauh sebelumnya telah dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Bpk guru Fran Reyaan (guru agama di Kelanit), dibantu oleh seorang Sekretaris, Bendahara serta seksi-2 a.l. seksi Adat, seksi Konsumsi, Seksi Perlengkapan dan seksi Protokoler (yang dipimpin oleh Bpk guru Yakobis Yanwarin seorang Protestan dari desa Ohoira yang saat itu bertugas di SD Kelanit.)
Kedatangan Pastor baru yang dijemput oleh panitia di Pastoran MSC Langgur pada hari Rabu sore sekitar pukul 15.00.dan di ujung kampung tepatnya di depan kantor desa, imam baru ini disambut dengan acara adat, disusul dengan pengguntingan pita lambang dibukanya pintu desa serta diikuti dengan pengalungan bunga dan jabat tangan. Kehadiran Pastor John di desa Kelanit banyak mengundang perhatian umat, baik umat Paroki maupun luar Paroki berdasarkan hubungan keluarga, tetangga desa, Yanur-Mangohoi dan lain-lain dengan tidak membedakan golongan, datang dari Dunwahan, Ohoidertawun, Letman, Pulau Ut dll, dan ini sangat berkesan dan membanggakan keluarga dan umat stasi Kelanit.
Imam baru ini beserta rombongan diarak menuju Gereja St. Petrus Kelanit diiringi musik bambu dari stasi Ngayub yang dipimpin Bpk. Anakletus Fadirubun. Selanjutnya rombongan diarak menuju makam alm ayah tercinta Venantius Lefteuw yang telah wafat pada tgl 3 Oktober 1953 ketika Pastor John masih berusia 3 bulan. Ini adalah peristiwa baru sekali terjadi di kampung Kelanit dan diiringi tetesan air mata para hadirin. Sapaan anak kepada ayahnya sambil membuka kalung bunga dileher dan kemudian dikalungkan pada salib ayahnya serta memberkatinya. Rombongan selanjutnya diantar kembali ke rumah Bapak Salvator Lefteuw untuk melapor kepada Utin-Kain, Di rumah inilah pada tahun 1965 diadakan syukuran ketika Pastor John berangkat ke Seminari Santo Yudas Thadeus Langgur, dan kemudian rombongan diantar ke rumah Pastor John untuk beristirahat.
Pada hari Kamis tanggal 25 September 1980 jam 7.30 Pastor John didampingi oleh dua teman imam baru, juga Pastor Yos Tethool (wakil Uskup Kei-Aru) dan Pastor Willem Zomer selaku Superior MSC dan sejumlah Pastor lain beserta keluarga ketiga pastor baru, diantar dari rumah kediaman menuju ke Gereja dengan tarian Saryaat oleh kelompok dari desa Faan yang dipimpin oleh Bpk. Hong Bi Rumangun. Gedung Gereja dan halaman telah dipenuhi undangan, umat paroki Kelanit, keluarga serta berbagai pihak baik Katolik, Protestan maupun Islam. Puncak acara yang berupa misa Konselebrasi dipersembahkan dengan penuh khidmat, dengan diiringi paduan suara suster-suster novisiat TMM Langgur yang dipimpin oleh Muder Petronela Renyaan TMM yang berasal dari desa Ohoiluk. Seusai misa, pastor memberikan berkat pertama kepada keluarga dan seluruh umat, dan selanjutnya imam baru dan rombongan diarak menuju ke tempat resepsi di gedung SDNK Kelanit dan diiringi tarian Saryaat desa Faan. Pada malam harinya digelar malam gembira yang diisi dengan berbagai atraksi dari 5 desa dalam paroki yaitu Ohoidertawun, Kelanit, Loon, Ngayub dan Ohoiluk dan juga dari desa Faan.

Panggilan hidup membiara

Dalam perkembangan agama Katolik, senantiasa ada pria maupun wanita yang dengan rela membaktikan diri untuk menjadi pastor, frater, bruder dan suster
Perkembangan agama Katolik di Indonesia pada umumnya dan Maluku khususnya dimulai dengan datangnya para misionaris dari Eropa, terutama para Pastor dan Bruder dari tarekat S.J.yang datang di kepulauan Kei dan kemudian disusul oleh mereka dari tarekat MSC dan kemudian para Projo yang semakin banyak jumlahnya. Demikian juga dengan para Suster, pada tahun 1905 datang Suster-Suster Fransiscanes dari Heythuizen yang kemudian digantikan oleh Suster-Suster tarekat “Puteri Bunda Hati Kudus” yang berkarya sampai dengan saat ini.
Kehadiran para biarawan dan biarawati kulit putih yang berkarya puluhan tahun di kepulauan Kei menggugah pula penduduk asli kepulauan ini, sehingga mulai tumbuh benih-benih panggilan hidup membiara baik sebagai pastor, bruder, frater maupun suster walaupun pada mulanya jumlah mereka masih sedikit. Sejarah membuktikan bahwa mereka yang pertama menanggapi panggilan Tuhan ini adalah kaum Hawa.
Pada tanggal 1 Mei 1927 Bapak Uskup Johanes Aerts mendirikan suatu tarekat baru untuk suster-suster pribumi yang dinamakan MARIA MEDIATRIX (Maria Bunda Pengantara) dan perintis para biarawati di sini adalah:
1. Nn. Olive Fofid dari Ngilngof dengan nama Str.Petronela
2. Nn. Tekhla Resubun dari Ngilngof dengan nama Str.Aloysia
3. Nn. Leonora Kasihiuw dari Haar dengan nama Str.Theresia
4. Nn. Maturbongs dari Kolser dengan nama Str. Clementina.
Keempat suster ini menempati sebuah rumah kecil (biara) yang diasuh oleh Muder Agelina PBHK
Bagi kaum lelaki, Mgr. Aerts mendirikan pula sebuah biara yang disebut BRUDER-BRUDER HATI KUDUS dan tiga orang yang mencalonkan diri menjadi perintis adalah
1. Ambrosius Lefaan dari Langgur
2. Kantius Tuyu dari Langoan – Minahasa dan
3. Donatus Tuyu dari Langoan – Minahasa


Panggilan hidup membiara dari Kelanit
Setelah sekian lama agama Katolik berkembang di kampung Kelanit, maka dalam dekade tahun lima puluhan barulah nampak bertumbuh benih panggilan membiara tersebut. Pada tahun 1957 puteri terbaik pertama Kelanit bernama Nn Yulita Renyaan diterima sebagai anggota tarekat Diosesan Amboina MM dengan nama SUSTER VERONICA. Kuntum bunga ini tepatlah disebut sebagai perintis panggilan biarawati di kampung kita ini. Baru selang sepuluh tahun kemudian tumbuh lagi kuntum akedua yaitu Nn Theresia Lefteuw, Saudari kandung penulis. Ia masuk Novisiat pertama Tarekat PBHK di Langgur pada tgl 30 Desember 1967 dengan nama SUSTER THERESIA. Setelah bertugas di berbagai tempat, maka sejak 2003 ia menjabat sebagai Muder Regional PBHK Maluku dan kemudian menjadi asisten Provincial PBHK di Jakarta.54
Adapun Novisiat Tarekat BHK dibuka pertama kalinya di Maluku bertempat di Langgur dengan calon-calon suster pertamanya adalah:
1. Nn. Angelina Esomar dari desa Wain
2. Nn. Theresia Lefteuw dari desa Kelanit
3. Nn. Fredigonda Telyoarubun dari desa Revav
4. Nn. Gorreti Dumatubun dari desa Langgur
5. Beberapa Nona lain yang kemudian mundur.
Sebenarnya sebelum mereka ini sudah ada beberapa Suster PBHK pribumi, yang masuk novisiat di Jawa dan ada pula beberapa anggota yang pindahan dari Tarekat MM.
Baru pada tahun 1974 mekar lagi kuntum ketiga dari Kelanit yaitu Nn Anecta Lefteuw yang masuk novisiat MM dengan nama SUSTER ANDREA. Perjalanan hidupnya yang penuh tantangan dan cobaan, akhirnya Ia memutuskan pindah dari MM masuk Tarekat Alma. Sampai kini Ia menjadi salah satu andalan Alma. Setelah berkarya di Jakarta, lalu Malang, Ia sekarang malah dipercaya membuka karya Alma di Kelanit.
Ketiga Suster ini selain menjadi biarawati, mereka juga berkarya mengisi kas tarekat dengan bekerja sebagai guru. Sayang sekali bahwa sampai akhir abad ke 20 tahun 1999, belum ada yang mengikuti mereka.
Perlu diketahui bahwa selain ketiga puteri tersebut diatas, ada pula seorang putri kelahiran desa Sofyanin yang adalah keturunan lurus dari salah seorang diantara ke 18 orang perintis agama Katolik pertama yang dibaptis di kampung Kelanit, yaitu Jacobus Tesul Lefteuw (lazim dipanggil Yai Kean Vuun) dan ia menyerahkan diri kepada Bunda Maria lewat tarekat MM dengan mengambil nama Suster Christina Rumgeur, suster Christina ini adalah cucu pertama dari Bpk Ernes Lefteuw anak kandung Jacobus Tesul Lefteuw.
Panggilan biarawan khususnya bruder dan frater memang sampai dengan saat ini belum ada yang datang dari desa Kelanit, sedang benih panggilan masuk tarekat MSC baru ada pada tahun 1980

Thabisan Imam Pribumi

Perlu diketahui bahwa sejak masuknya Agama Katolik ke kepulauan Kei, sampai dengan th 1961 baru dihasilkan tiga orang imam pribumi yaitu Pastor Eusebius Yamco Pr. Pastor Engelbertus Dumatubun MSC, keduanya dithabiskan diluar daerah semasa perang Dunia II, sedang imam pribumi ke 3 yaitu Pastor Paskalis Resubun MSC yang dithabiskan tahun 1961 oleh Mgr.Jacobus Grent MSC dan ini merupakan thabisan pertama di kep.Kei di gereja Kathedral Langgur. Thabisan kedua di Kathedral Langgur diadakan pada tahun 1980 oleh Mgr. Andreas Sol MSC dan diberikan kepada tiga orang pastor yaitu Pastor Isak Resubun MSC, Pastor John Lefteuw MSC, dan Pastor Herman Lingitubun MSC. Antara tahun 1961 hingga 1980 imam-imam asli Kei lain biasa dithabiskan di luar bumi Larvul Ngabal antara lain di Manado, Ambon dan Masohi. Setelah tahun 1980 thabisan juga diadakan dibeberapa tempat di Kep Kei, Tanimbar.
Pada tahun 2000 dithabiskan beberapa imam baru oleh Uskup Amboina P.C.Mandagi MSC, diantaranya Pastor Matheus Bwariat Pr yang kemudian ditunjuk menjadi pastor paroki Kelanit periode tahun 2000 – 2002

Pastor Paroki dan Gedung Gereja

Para Pastor yang bertugas di paroki Kelanit.
Kita teringat akan peristiwa bersejarah tanggal 14 Mei 1902 mengenai pelayanan Perayaan Ekaristi oleh Pastor Mertens SY dan Pastor Bijsterveld SY secara bergantian karena pada saat itu di seluruh kepulauan Kei hanya dilayani oleh dua orang tenaga Imam, sehingga banyak pelayanan lain dilakukan oleh guru Katekis.
Pada tanggal 28 Oktober 1902 Bpk. Uskup Mgr. Sybrandus Luypen, Vikaris Apostolik Batavia tiba di Kei untuk memberikan Sakramen Krisma kepada 312 orang umat di Langgur. Setelah itu beliau juga mengunjungi Kolser, Kelanit, Sathean, Ngutwaw, Iso, Ngabub, Wain, Revav, Rumat, Watraan dan Duroa. Pada tanggal 10 November 1902 Bapak Uskup meninggalkan kepulauan Kei kembali ke Batavia.
Tanggal 22 Desember 1902 Missi Kepulauan Kei dipisah dari Vikariat Batavia dan berdiri sendiri dengan nama Vikariat Apostolik Nieuw Guinea yang wilayahnya meliputi Nieuw Guinea (Irian Barat), kep Kei, kep Aru, Ambon, Halmahera serta pulau-pulau sekitarnya dan berpusat di Langgur.
Tanggal 13 Februari 1903 Kongregasi Propaganda Fide di Roma mengeluarkan surat keputusan mengangkat Pastor Dr. Mathias Neyens MSC selaku Prefek Apostolik Nieuw Guinea yang pertama.
Pada tanggal 1 September 1903 Pastor Dr. Mathias Neyens MSC bersama Pastor Henricus Geurtjens berangkat ke Indonesia dan tiba di Langgur tanggal 28 November 1903. Tanggal inilah merupakan awal karya Tarekat MSC di Indonesia.
Tanggal 1 Januari 1904 diadakan serah-terima pelayanan umat di Prefektur Apostolik Nieuw Guinea dari tarekat SY kepada tarekat MSC di Langgur. Sejak saat itu perayaan Ekaristi kedua kalinya dilayani oleh 2 imam yaitu Pastor Dr. Mathias Neyens MSC yang lazim disapa sebagai Tuan Bun dan Pastor Henricus Geurtjens MSC secara bergantian.
Pada tanggal 21 Januari 1904 tiba serombongan Misionaris MSC dari Belanda.
Perlu dicatat bahwa pada April 1904 Pastor Mathias Bun pergi ke Merauke, serta pada April 1905 Tuan Bun pergi ke Ambon untuk mengunjungi umat di sana. Perjalanan Tuan Bun dari kampung ke kampung kebanyakan melalui jalan tikus di hutan dan kebun-kebun penduduk. Setelah dibangun gedung Gereja pada tahun 1905 pelayanan umat dilakukan di sana.
Pada tanggal 22 Februari 1907 Pastor Willem Kamerbeek dengan kawan-kawan tiba di Langgur. Beliau ditunjuk untuk melayani umat Katolik di Kelanit dan Watraan ;
Pastor Kamerbeek kemudian ditunjuk untuk melayani umat di Kelanit dan Watraan, tetapi tetap berdomisili di Langgur.
Tanggal 24 Desember 1907 tiba pula di Langgur serombongan tenaga baru yang terdiri dari 5 orang Pastor dan 3 orang Bruder yaitu Pastor Yan Van den Bergh MSC, Pastor Yoseph Klerks MSC, Pastor Bernardus Thien MSC, Pastor J. Yernaux MSC, Bruder J. Yoosten MSC, Bruder J.Duyndom MSC dan Bruder M. Tops MSC
Pastor Bernardus Thien MSC langsung ditugaskan sebagai Pastor tetap dan Pastor Paroki Pembantu di Kelanit yang sekaligus melayani kampung-kampung sekitar termasuk kampung Watraan dan merayakan misa Natal 25 Desember 1907 di Kelanit. Beberapa saat kemudian Watraan dilepas dari Kelanit dan bergabung dengan Duroa yang dilayani oleh Pastor Petrus van de Raad MSC yang berdomisili di Langgur
Statistik tahun 1910 yang dibuat oleh Prefek Apostolik Dr. Mathias Neyens MSC Mencatat hal-hal berikut.
Jumlah umat : - di Kei Kecil : 2.375 orang
- di Kei Besar : 565 orang
: 2.940 orang
Baptisan - di Kei Kecil : 380 orang
- di Kei Besar : 271 orang
651 orang
Calon Baptis - di Kei Kecil : 421 orang
- di Kei Besar : 500 orang
929 orang
Dalam tahun 1910 di Kei Kecil ada 5 stasi Induk dan 4 buah di Kei Besar yaitu
Di Kei Kecil Di Kei Besar
1. Langgur 1. Hollat
2. Namar 2. Haar
3. Rumat 3. Watuar
4. Kelanit 4. Uwat
5. Ohoidertutu
Selain itu masih ada 9 Stasi yang hanya dilayani seorang guru Agama. Kesembilan Stasi Induk di atas kemudian ditetapkan sebagai induk Paroki.
Pada tahun 1911 Pastor Thien menjalani cuti ke Belanda dan untuk sementara beliau digantikan oleh Pastor Ernest Masure MSC . Pastor Thien kembali ke posnya di paroki Kelanit pada bulan September 1911, sedang Pastor Masure kemudian ditugaskan ke Hollat pada tanggal 23 September 1911.
Pastor Thien dalam masa tugasnya pernah mendorong pembangunan gedung Gereja ke III di lokasi yang sekarang dan pembangunannya diperkirakan selesai pada tahun 1925
Tanggal 23 Mei 1920 Pastor Robert Weber MSC dan Pastor Emericus Gosens MSC tiba di Langgur. Pastor Weber ditugaskan di Tanimbar sedang Pastor Emericus Goosens MSC ditempatkan di Kelanit sebagai Pastor Paroki menggantikan pastor Thien MSC yang selanjutnya ditugaskan di Kei Besar.
Sekitar tahun 1928 Pastor Yoseph Klereks MSC diperbantukan di Stasi Induk Paroki Kelanit,yang juga pernah membahas nama Ohoi Kelanit bersama guru Salvator Lefteuw seperti telah diuraikan dalam Bab I.
Antara 1928 – 1934 paroki pembantu Kelanit dilayani pula oleh Pastor Walterus van Wiyngarden MSC.yang karena keramah-tamahannya dijuluki “Tuan Bilan Mafun” Setelah berkarya selama beberapa tahun di kepulauan Kei beliau pada tahun 1936 terpaksa kembali ke Negeri Belanda karena alasan kesehatan
Pada tanggal 5 April 1934 Pastor Gerardus Berns MSC, Pastor A.Helmer dan Pastor Yan van de Bijl MSC tiba di Langgur. Pastor Gerardus Berns MSC ditugaskan di Kelanit sebagai pastor paroki disamping jabatan lain sebagai sekretaris Uskup. Kedua jabatan penting ini dijabat hingga akhir hayatnya ketika ia ditembak mati bersama Bpk. Uskup Johannes Aerts serta sejumlah Pastor dan Bruder di pantai Missi Langgur pada tanggal 30 Juli 1942
Pada zaman perang Jepang Pastor Thien bersama Pastor Yos Klerks dan beberapa orang suster ditangkap dan dijadikan tawanan perang, Tanggal 15 Februari 1943 terjadi pemboman kamp tahanan Tantui. Menurut Pastor Dr.Karel Badaux dalam bukunya “WAR CAME TO THE KEI ISLAND” ditulis bahwa ada 28 orang korban di antaranya lima Suster dan dua Pastor yaitu Pastor Yoseph Klerks dan Pastor Bernandus Thien yang hancur tubuhnya, mereka semua dimakamkan di Tantui. Nanti pada tahun lima puluhan makam itu digali kembali dan kerangka mereka dipindahkan ke Taman Bahagia yang letaknya berdampingan dengan Taman Makam Pahlawan di Kapaha.
Dari jenazah para Suster, masih dapat dikenali jenazah Suster Priska dan Suster Norberta, juga jenazah Pastor Thien masih dapat dikenali walaupun sebagian besar tubuhnya hancur. Peletakan kubur mereka yang sudah dikenali karena kubur Pastor Thien diapit oleh kedua Suster, sedangkan makam Pastor Yos Klerks bersama tiga orang suster tidak diketahui karena tubuh mereka hancur oleh pemboman itu.
Pada tahun 1946- 1947 yang biasa disebut masa kapitulasi, Pastor Frans Munster MSC yang lazim disapa sebagai Tuan Jerman berusaha membina kembali semangat umat yang masih mengalami trauma akibat perang. Pada masa jabatannya diadakan upacara adat sebagai ungkapan syukur dengan melakukan penyembelihan hewan korban (seekor kambing jantan) di tengah Woma.
Pada tahun 1947 – 1954 ditugaskan Pastor Petrus van de Raad yang biasa disapa Tuan Van. Ia berjenggot putih dan panjang ini sangat tegas dalam menjalankan tugasnya. Hal ini teringat jelas untuk penulis, karena ayah kandung penulis bertugas sebagai Suis di Gereja Kelanit sampai beliau meninggal pada tanggal 3 Oktober 1953. Pastor ini menetap di Ohoi Kelanit dan lancar berbahasa Kei. Dalam masa jabatannya ia mulai membentuk dan mengembangkan organisasi kerasulan awam Konfreria Apostolat dan Konggrasi Maria. Tahun 1954 beliau dipindah ke Katlarat di Kei Besar.
Tahun 1954 – 1957 tiba di paroki Kelanit Pastor Albertus Rutgers MSC seorang pendatang baru yang lama bertugas di Keuskupan Manado.Meski tidak menetap di Kelanit karena beliau merangkap tugas sebagai guru di sekolah-sekolah lanjutan Katolik di Langgur, pelayanan imamatnya tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Disamping itu sebagai seorang pelukis beliau berusaha melukis 14 stasi langsung pada papan dinding Gereja Kelanit.Gambar-gambar sebesar manusia itu membuat suasana di Gereja lebih indah dan menarik. Pertengahan 1957 beliau dialih tugaskan ke Paroki Namar dan perayaan pesta Perak Imamat berlangsung di Debut.
Pengganti Pater Rutgers adalah Pastor Fransiskus van Domelen MSC, seorang pastor muda yang penuh semangat. Seperti pendahulunya ia tidak menetap di Paroki karena ia merangkap tugas sebagai staf pengajar di Langgur. Pastor ini bertugas di Paroki Kelanit dari 1957 hingga 1960. Dalam masa tugasnya salib di puncak Masbait dibangun kembali sebagai Salib ke II, dan diresmikan pada hari Jum’at Agung tahun 1959
Sepeninggal Pastor van Domelen MSC, paroki kecil ini mulai dipercayakan kepada imam-imam pribumi. Untuk pertama kali tugas pelayanan paroki dipercayakan kepada seorang imam muda yang baru saja dithabiskan di Kathedral Langgur yaitu Pastor Paskalis Resubun MSC. yang dengan jiwa dan semangat mudanya melaksanakan tugas perdananya.
Tahun 1962 – 1963 Pastor paroki Kelanit adalah Pastor Yoseph Tethool MSC yang baru tiba dari Manado. Selain menjadi pastor paroki, beliau juga menjadi pengajar pelajaran Agama Katolik di SGA Fajar Langgur, Penulis termasuk anak binaannya dari SGA kelas II hingga tamat.
Pastor Yos Tethool digantikan oleh rekannya Pastor Alexan der Welerubun MSC yang bertugas selama dua periode yaitu 1963 -1965 dan 1979 -1984
Setelah Pastor Yos Tethool dipindahkan dari paroki Kelanit, karir beliau makin menanjak dan akhirnya menjadi Uskup Auxiliaris dan diperbantukan pada Keuskupan Amboina.
Tahun 1965 -1966 pastor paroki Kelanit dijabat oleh Pastor Engelbertus Yamrevav MSC.
Kemudian Pastor Kanisius Rumlus menjabat pastor paroki Kelanit dari tahun 1966 – 1967, beliau juga merangkap sebagai staf pengajar di Seminari Yudas Thadeus Langgur, jadi beliau tidak menetap di paroki
Tahun 1967 -1970 untuk pertama kalinya paroki kecil ini digembalakan oleh seorang imam diosesan yakni Pastor Eusebius Jamco Pr. Kemudian beliau terpilih sebagai anggauta MPRS utusan Maluku Tenggara. Pelayanan umat paroki pada saat beliau mengikuti sidang di Jakarta dilaksanakan oleh para Pastor dari Seminari Langgur dianta ranya Pastor FX. Venix MSC dan Pastor CJ. Bohm MSC (Rektor Seminari)
Tahun 1970 – 1971 paroki Kelanit dilayani oleh Pastor Titus Rahail MSC yang juga merangkap jabatan sebagai wakil uskup Kei dan Aru, sehingga seperti yang lain beliau tidak menetap di Paroki.
Kemudian beliau digantikan oleh wajah baru yang sudah tua yang adalah seorang bangsawan Belanda yaitu Pastor Antonius van Royen MSC yang menetap di paroki Kelanit selama kurang lebih 8 tahun. Walau tua namun semangatnya masih tinggi. Di antara usahanya yang masih tertinggal ialah sebuah bak penampung air hujan disamping Gereja untuk membantu masyarakat dikala membutuhkan air.Karena usianya sudah terlalu tua maka beliau harus meninggalkan tanah Kei yang dicintainya untuk kembali ke negeri Belanda. Sewaktu sisa hidupnya beliau beberapa kali menulis surat kepada umat stasi Kelanit yang disampaikan lewat beberapa tokoh umat diantaranya Ibu guru Paskalina Lefteuw yang adalah kakak kandung penulis. Sekepergian beliau pelayanan umat paroki kembali dipercayakan kepada Pastor Alex Welerebun yaitu dari tahun 1979 – 1984.
Pastor Willem Zomer MSC orang Belanda yang sudah menjadi WNI yang bertugas dari tahun 1984 – 1991 juga tidak menetap di pastoran Kelanit tetapi meski demikian dengan sebuah sepeda tua beliau melayani umat paroki. Beliau hampir-hampir tidak memiliki waktu istirahat, karena banyaknya tugas yang diembannya, yaitu selain jadi pastor paroki juga menjabat Superior MSC di Maluku, Kepala Sekolah PGA Katolik dan Ketua Yayasan St. Willibrordus. Pada masa jabatannya ini mulai dibenahi rukun-rukun disetiap stasi khususnya di stasi Kelanit. Sebenarnya rukun-rukun ini sudah terbentuk sejak Pastor Alex Welerubun namun masih kurang berhasil karena menggunakan sistim kategorial. Akhirnya itu diubah menjadi sistim Teritorial dan dimulai dengan 4 rukun. Kemudian salah satu dari 4 rukun itu dibagi dua dan menjadi 5 rukun dan bertahan sampai tahun 2006. Pada masa jabatannya berhasil dibangun TK Hati Kudus Kelanit dan pembangunan kembali salib dipuncak Masbait dengan dilengkapi stasi-stasi dan difungsikan sebagai taman ziarah. Sayang beliau tak sempat mengikuti upacara peresmiannya karena oleh kepentingan tugas di Ambon.
Tahun 1991 – 1992 paroki ini dilayani seorang Diakon yakni Diakon Hans Ngala MSC, yang setelah dithabiskan sebagai imam di Manado dimutasikan. Dalam tahun 1993 untuk sementara Pastor Titus Rahail (senior) kembali sampai pada saat upacara peresmian Taman Ziarah Kalvari
Mulai akhir 1993 hingga tahun 2000 paroki ini dilayani oleh Pastor Gerardus Esserey MSC yang berasal dari kampung Karlomin (Kaswui) kabupaten Maluku Tengah. Beliau dibesarkan di Kei dan masuk Sekolah Rakyat di Kampung Ngilngof. SMP dan SGA di Langgur th 1964 dan kemudian masuk pendidikan imam dan dithabiskan di Masohi yang adalah Ibu Kota Maluku Tengah waktu itu. Ada suatu kebiasaan pada waktu beliau menjabat yaitu bahwa setiap pasangan yang dinikahkannya wajib masuk menjadi anggauta Konfreria Apostolat, karena itu pada masa kini anggauta Apostolat semakin banyak tapi yang aktif biasanya kaum ibu. Pada waktu terjadi kerusuhan di Tual tahun 1999, beliau tetap berada di tempat pengungsian dipuncak Masbait bersama umat Kelanit, Loon dan Ohoider
Pada tahun 2000 Pastor Matheus Bwariat Pr yang baru dithabiskan ditunjuk menjadi pastor paroki Kelanit, sedang Pastor Gerardus Esserey MSC dimutasikan ke paroki Ohoidertutu. Pastor muda dengan tugas perdana sebagai pastor paroki sering menyebut paroki ini sebagai cinta pertamanya dan ia sangat disenangi umat karena ia sering mendorong umat untuk membangun. Beliau juga tidak menetap di paroki karena tugas lain seperti staf pengajar di Seminari. Atas dorongannya, maka Gereja St.Petrus Kelanit mengalami kemajuan yakni adanya pemasangan lantai keramik, juga atas inisiatifnya umat stasi Kelanit bekerjasama mengambil bagian dalam penataan halaman biara susteran TMM Langgur, termasuk pagar tembok pada bagian belakang. Selama bertugas disini beliau juga berjasa dalam bidang panggilan sehingga banyak anak paroki khususnya dari stasi ini tergerak untuk masuk Seminari. Juga ada tiga orang gadis yang menyatakan diri bersedia masuk biara, yaitu Nn. Lisa Kilmas (asal Loon) yang memasuki aspiran di Flores dan novisiat di Italia. Juga Nn Maria Renyaan dan Nn Jeanne Lefteuw (keduanya asal Kelanit) yang masuk aspiran, postulan dan kemudian menyelesaikan novisiatnya di Philippina. Mungkin kalau beliau lama di sini barangkali panggilan akan makin bertambah, namun pada akhir tahun 2002 beliau pindah ke Saumlaki untuk menjadi Rektor Seminari di sana. Sebelum pindah dari paroki ini beliau sempat membentuk Dewan Pastoral Paroki Kelanit sehingga paroki Kelanit menjadi setara dengan paroki-paroki lain. Serah terima dengan penggantinya Pastor Constan Fatlolon Pr di Gereja St. Petrus Kelanit disaksikan oleh Pastor Ohoira Pr rektor Seminari Langgur selaku wakil Uskup wilayah Kei Kecil beserta umat stasi Kelanit, anggauta DPP dan DPS. Paroki. Sebenarnya beliau juga berencana untuk membangun pastoran yang memperoleh dukungan DPS dan umat, tapi Tuhan mempunyai rencana lain, dan beliau keburu pindah.
Tahun 2002-2003 merupakan masa jabatan Pastor Costan Fatlolon Pr, namun meskipun hanya bertugas selama setahun beliau cukup berhasil, dan seperti beberapa pendahulunya Paroki Kelanit merupakan tempat menimba pengalaman pertama sebagai imam yang baru dithabiskan tahun 2002 itu. Ia berhasil merintis organisasi SEKAMI. Beliau juga secara positif terlibat dalam peringatan seabad masuknya Agama Katolik di Kelanit, termasuk dengan mengeluarkan SK Pastor paroki tentang Panitia Peringatan 100 tahun Agama Katolik di Kelanit. Dalam kegiatan ini beliau menyelenggarakan misa pertobatan umum serta ikut ambil bagian dalam upacara pembersihan desa yang dipimpin oleh PJ.Raja Faan, memimpin misa dan sekaligus memberkati lokasi dan bersama kepala Bimas Katolik dari kantor Agama kabupaten Maluku Tenggara Bpk.J. Nalar Ba meletakkan batu pertama pembangunan monumen peringatan di sini. Dan Akhirnya bersama wakil Uskup wilayah Kei Kecil mempersembahkan perayaan Ekaristi di Gereja St. Petrus Kelanit dalam rangka memperingati 100 tahun Agama Katolik masuk dikampung ini pada tanggal 19 Oktober 2003
Pada akhir 2003, Pastor Costan Fatlolon Pr dipindahkan ke Ambon sebagai sekretaris Keuskupan dan digantikan oleh seorang imam yang baru dithabiskan pada akhir tahun 2003 itu yakni Pastor Clemens El Pr.Tanggal 31 Desember 2003 diadakan serah terima di Gereja Kelanit disaksikan oleh Pastor Sebastianus Kolo MSC, Dewan Pastoral stasi Kelanit dan umat.
Pastor Clemens Ell Pr. Bertugas dari awal 2004 sampai tahun 2005, dan beliau juga memperhatikan kegiatan SEKAMI dan MUDIKA, melanjutkan kegiatan misa untuk tiap rukun dan tambahan ada misa untuk tiap Marga, hal mana disambut dengan positif oleh umat. Seperti pendahulunya tugas pastoral dirangkap dengan tugas sebagai pengajar di seminari.
Beliau kemudian digantikan oleh Pastor Lucky Kelwulan Pr, yang menerima tugas sebagai pastor paroki Kelanit pada akhir tahun 2005. Pastor yang menjadi Kepala Unio Projo ini bertekad menetap di pastoran paroki Kelanit setelah merayakan misa Natal 2005. Beliau berpendapat paroki sebaiknya dijadikan pusat pelayanan pastoral. Siapa saja yang berniat berurusan dengan pastor paroki harus datang ke Kelanit bukan ke Langgur. Beliau mendukung pula kegiatan panitia pembangunan monumen untuk menyelesaikan lokasi monumen 100 tahun yang agak terhenti penyelesaiannya sejak tahun 2003, dan juga mendukung panitia pembangunan monumen pentakhtaan Arca Hati Kudus dan pada tanggal 10 Juni 2006 beliau sempat mempersembahkan misa di lokasi dan sekaligus meletakkan batu pertama bersama ketua Apostolat Keuskupan Amboina (Bpk Max Renyaan)
Pastor Lucky Kelwulan Pr bertekad pula untuk membangun gedung pastori yang baru dan memperoleh dukungan dana awal dari Keuskupan lewat Komisi Pembangunan sebesar Rp. 10 juta. Pada hari Rabu 19 Juli 2006 pagi, telah tiba di pastoran Kelanit Pastor Jack Renyaan Pr dari Komisi diatas untuk meninjau langsung lokasi dan memantapkan gambar rencana yang telah dibuat. Pastor Lucky sempat mengundang Bpk. MarkusLefteuw (Orangkay Kelanit), Alex Buang Lefteuw (Ketua DPS).Vantinus Renyaan (Mantan Pj.Kades/Mantan ketua DPS), Markus Kasim Lefteuw (tukang), Thoby Lefteuw (ahli bangunan) dan Marius Lefteuw (Penulis / tokoh masyarakat), setelah berkomunikasi di lapangan, maka rencana yang sudah dibuat itu ternyata perlu dirombak seperlunya.. Mengawali pekerjaan fisik yang akan dikelola oleh sebuah panitia, maka pastor paroki melalui kebijaksanaannya telah menghimbau umat stasi agar setiap rukun menyiapkan bahan lokal berupa batu dan tanah putih yang memperoleh sambutanpositif dari umat sehingga kedua bahan tersebut telah tiba di lokasi pastori.
Tahun 2006 dilakukan serah terima pimpinan Unio Projo dari Pastor Lucky Kelwulan Pr kepada Pastor Eko Reyaan Pr, sedangkan tugas sebagai staf pembina di seminari S.Y.T tetap dipegang oleh Lucky Kelwulan Pr

Benih Iman Katolik Mulai Bertumbuh

Benih iman dan pertumbuhannya:
Kita patut mensyukuri rahmat Allah, karena benih yang ditaburkan dalam bulan Juli 1888 oleh Pater Yohanes Dominicus Kusters SY dan rekannya Pater Yohanes Booms SY, telah menampakkan gejala pertumbuhan, dan ini terbukti pada tanggal 10 Juli 1901 dimana pernyataan isi hati yang murni dari masyarakat kampung Kelanit disampaikan kepada Pater Mertens SY, yang kemudian dilanjutkan dengan tugas perutusan dan kerja keras yang dilaksanakan oleh Bpk. Isaias Nai Kelanit sang rasul awam pertama.
Dan akhirnya tibalah saat yang sangat bersejarah, saat yang didambakan dan dinanti-nantikan dan yang merupakan toggak sejarah terbesar dalam perkembangan Gereja Katolik di Kelanit, sebagaimana telah dikisahkan pada bab II, bahwa persiapan yang dilakukan sejak 18 Juli 1901 yaitu dengan dibukanya sebuah sekolah di kampung Kelanit oleh bapak guru Isaias Nai Kelanit akhirnya mencapai puncaknya pada waktu kurang lebih 10 bulan berikutnya yaitu pada tanggal 14 Mei 1902.
Pada hari itu untuk pertama kalinya terjadi suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sejak moyang-moyang kita yaitu “penuangan air baptisan pertama pada kepala para calon baptis yang berjumlah 18 orang oleh Pater Yakobus A.Mertens SY dengan disaksikan oleh katekis awam Bapak Isaias Nai Kelanit “ dan upacara itu juga dihadiri oleh kaum keluarga yang belum masuk Katolik.
Angka delapan belas itu adalah angka keramat, begitu juga tgl 14 Mei dan patut senantiasa diperingati dari masa ke masa.
Nama ke delapan belas domba baru itu patut ditulis dengan tinta emas dalam lembaran Gereja Katolik di pulau-pulau Kei pada umumnya dan kampung Kelanit pada khususnya’ dan mereka itu adalah :
1. Herman Yoseph Fad Lefteuw Marvikubun
2. Rosalia Bok Renyaan ( Isteri )
3. Ambrosius Duham Lerteuw Marvikubun
4. Yohanes Arken Lefteuw Marvikubun
5. Maria Boimuak Lefteuw Marvikubun
6. Anna Hatijah Lefteuw Marvikubun
7. Petrus Alam Lefteuw Marvikubun
8. Willem Maras Lefteuw Marvikubun
9. Thomas Tadortulis Renyaan
10. Mozes Fadir Lefteuw.Lorubun.
11. Yacobus Tesul Lefteuw Marvikubun
12. Philipus Vatyaf Lefteuw Marvikubun
13. Paulus Yahaumul Rumyaan.
14. Pius Farne Renyaan.
15. Hendricus Taversir Lefteuw Lorubun.
16. Tobias Enga Kilmas.
17. Etmundus Jang Rumyaan.
18. Catarina Maskubar.
Menjelang persiapan pembaptisan itu telah dibangun sebuah Gereja mungil (1902) terletak kira-kira 20m disebelah Timur Stasi I Taman Ziarah Kalvari. Inilah Gereja pertama di Kelanit dan ditempat inilah dibangun sebuah monumen untuk memperingati 100 tahun masuknya Agama Katolik di kampung / desa Kelanit pada tahun 2003
Suksesi Vikaris Apostolik Batavia
Mgr.Claesens Vikaris Apostolik Batavia sudah lanjut usia dan sering sakit-sakitan mengajukan permohonan pembebasan tugas kepada Sri Paus, dan dengan surat keputusannya tertanggal 23 Mei 1893 Paus Leo XIII akhirnya memberhentikan dengan hormat Mgr.Claesens dan mengangkat Mgr.W.Y.Staal SY sebagai Vikaris Apostolik yang baru.
Mgr. W.Y.Staal SY tiba di Langgur pada tanggal 12 Juni 1897 dalam rangka kunjungan dinas dan memberikan Sakramen Penguatan kepada umat Katolik, diantaranya 215 orang dari Langgur, Faan dan Kolser pada tanggal 20 Juni 1897. Beliau juga mengunjugi beberapa kampung di Kei Kecil. Perjalanan keliling ini banyak menguras tenaganya yang menyebabkan beliau sakit, meski demikian beliau masih sempat merayakan misa terakhirnya di Gereja Langgur, meski saat itu kondisi fisiknya sangat mencemaskan
Tanggal 29 Juni 1897, Bpk Uskup menerima sakramen tobat dan mengucapkan pengakuan iman dihadapan dua Pastor yaitu Pater Custers SY dan Pater van der Heyden SY
Keesokan harinya Bapak Uskup berangkat kembali ke Batavia dengan menumpang kapal AREND. Namun pada tanggal 30 Juni 1897 beliau menhembuskan nafas terakhir di Laut Banda ketika sudah sekitar 8 jam berlayar dari Tual. Beliau wafat dalam usia 58 tahun, dan setelah berkarya selama 22 tahun di Indonesia, termasuk 4 tahun sebagai Uskup. Besoknya, tanggal 1 Juli 1897 Pastor Kusters mempersembahkan Misa Requiem di atas kapal Arend. Setibanya di Bandaneira jenazah almarhum dimasukkan ke dalam keranda berlapis dua dan sesampainya di Makassar jenazah Bapak Uskup dipindahkan ke kapal REAL untuk melanjutkan perjalanan ke Tanjung Priok.; Semua kapal mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda ikut berduka-cita atas wafatnya Vikaris Apostolik Batavia itu. Upacara pemakamannya dihadiri oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu.
Setelah wafatnya Mgr. Staal maka Tahta Suci mengangkat Mgr. Etmundus Sibrandus Luypen lewat surat keputusan tanggal 21 Mei 1898. Tanggal 21 Oktober 1902 beliau mengadakan kunjungan ke Kepulauan Kei, dan disambut secara meriah, ada delapan perahu belan berhias, dan pada hari itu juga menerima tamu kepala-kepala kampung yang sudah dan berniat menjadi umat Katolik, 8 orang guru misi. Dalam kunjungan ini beliau memberi Sakramen Krisma kepada 312 orang di Langgur.
Pada hari hari berikutnya pada akhir Oktober hingga awal November 1902 beliau dengan menumpang perahu berhias yang ditarik oleh perahu lain , secara berturut-turut mengunjungi 17 kampung yang orangnya sudah menjadi umat Katolik, termasuk kampung Kelanit, dan beliau bangga dan kagum atas perkembangan iman yang terjadi.Tanggal 10 November 1902 ketika Uskup bertolak kembali ke Batavia,
Di akhir tahun ini terjadilah suatu peristiwa yang menakutkan, wabah kolera menyerang kepulauan Kei. Pada akhir Desember 1902 wabah tersebut sudah menyerang Kolser, lalu awal 1903 terus menjalar ke kampung-kampung lain,termasuk kampung Kelanitpun tidak luput dari serangan itu.
Langgur pusat Prefektur Apostolik Indonesia Timur.
Conggregatio de Propaganda Fide di Roma memutuskan bahwa Langgur dijadikan Pusat Prefektur Apostolik Indonesia Timur yang pada waktu itu disebut Vikariat Apostolik Nieuw Guinea, Vikariat baru ini meliputi Irian Barat, kepulauan Kei, kepulauan Aru, Ambon, Banda, Seram, Halmahera dan pulau-pulau sekitar
Sebagai Prefek Apostolik pertama ditujuk Pastor Dr. Mathias Neyens MSC yang kemudian akrab dipanggil “Tuan Bun”
Pengangkatan beliau lewat surat keputusan Conggregatio de Propaganda Fide tanggal 13 Februari 1903 dan kemudian tanggal 1 September 1903 Pastor Dr. Mathias Neyens MSC beserta rekannya Pastor Henricus Geurtyens MSC berangkat ke Indonesia dan tiba di Langgur tanggal 28 November 1903
Pada tanggal 1 Januari 1904 Di Langgur diadakan serah terima pelayanan serta tanggung jawab umat Vikariat Apostolik Nieuw Guinea dari Tarekat SY kepada Tarekat MSC. Sejak saat itu pelayanan umat hanya dilakukan oleh dua oran Pastor secara bergantian oleh Tuan Bun dan Tuan Geurtyens hingga akhirnya pada tanggal 22 Januari 1907 tiba beberapa tenaga baru dari Belanda di Langgur, yaitu Pastor A.Maaywee MSC, Pastor W.Kamerbeek, Pastor P. Van de Berg, Pastor J. Kraanen, Bruder Smulders, Bruder W. Verhoefen, Suster Fitalia, Suster Maura dan Suster Defota. Pada awal tahun 1907 itu juga Pastor W.Kamerbeek MSC,ditugaskan melayani umat di Kelanit dan Vatraan, tetapi beliau tetap berdomisili di Langgur.
Pada saat penyerahan tugas tanggungjawab Tarekat SY kepada Tarekat MSC itu jumlah umat diseluruh kepulauan Kei ada sebanyak 1170 orang, dan tersebar di 20 kampung yaitu :


1. Langgur 6. Wain 11. Abean 16 Kelanit
2. Wearlilir 7. Iso 12. Danar 17 Ohoidertavun
3. Faan 8. Ngutwaw 13.Rumadian 18 Kolser
4. Sathean 9. Revav 14 Namar 19 Vatraan
5. Ngabub 10. Rumat 15 Ngilngof 20 Duroa
Jumlah Gereja yang sudah dibangun ada 15 unit, yaitu
1. Langgur 6. Namar 11. Wain
2 Kolser 7. Duroa 12. Iso
3. Kelanit 8. Vatraan 13. Ngutwaw
4. Ohoidertavun 9. Faan 14. Revav
5. Ngilngof 10 Sathean 15. Rumat
Jumlah sekolah ada 12 unit berlokasi di
1. Langgur 5.Ngilngof 9. Faan
2 Kolser 6.Namar 10. Sathean
3.Kelanit 7.Duroa 11.Revav
4. Ohoidertavun 8. Vatraan 12.Rumat
Suatu perkembangan lain di Kelanit adalah bahwa pada hari Rabu Abu tahun 1904 , semua orang yang belum masuk Agama Katolik memberi diri untuk dibaptis lewat Tuan Bun . Hanya 4 orang yang tidak dapat ikut karena beristri dua orang.
Sebagai realisasi dari ungkapan hati pada hari Rabu Abu itu, maka selama tiga hari berturut-turut dari tanggal 26, 28 dan 29 Juni 1904 dibaptislah 35 orang yaitu
1. Alowysius Lefteuw M
(meninggal di Hollandia) 19. Paulina Keran
2. Yoakhim Lahai Lefteuw Loorubun 20.Viktorianus Memru
Kilmas
3. AndreasKastoor Kilmas 21.Victoriana Masngiar
Reyaan
4. Yanuarius Moham Lefteuw Lorubon 22.Bernadina Vatovan
Renyaan
5. Alexander Raad Loorubon
(guru) asal Desa Kelanit) 23.Walterus Waryaad
Lefteuw M
6. Polycarpus Servot Lefteuw Marvik 24. Zakarias Malekat Lefteuw L
7.Anakletus Famaar Rumyaan 25. Martinus Salas Lefteuw L
8. Isaiyas Koyar Lefteuw Lorubun 26. Matheus Elkel Renyaan
9. Alowysius Taverkoran Lefteuw Loorubon 27. Agustinus Yako Reyaan
10. Nikodemus Tabag Lefteuw
Lorubun 28. Ignasisus Wal
11. Cosmas Takaad Teton Renyaan 29. Daniel Saad Renyaan
12. Carolus Baat Lefteuw M 30. Stanislaus Terbuut
Rumyaan
13. Leo Hang Lefteuw M 31. Helena Bien Wursok
14.Alfonsus Baad Renyaan
(Banglu enan) 32. Martina Boiwas Lefteuw M
15. Wilhelmina Atbakfuun Wursok 33. Monica Gamien
16. Theresia Boyen Letteuw Lorubun 34. Yosefina Ribut Rumyaan
17. Veronica Maselmu Kilmas Lekesubun 35. Christina Bien Kelanit
18. Sesilia (adik) Kilmas Lekesubun
Dengan demikian jumlah umat Kristen di kampung ini berdasar data s/d 29 Juni 1904 berjumlah 54 orang, lalu pada tanggal 26 September 1906 dibaptis lagi 21 orang dan terus berkembang hingga kini, dimana hingga 14 Mei 2002 umat stasi Kelanit berjumlah 720 orang, belum termasuk keluarga diluar stasi / diluar daerah
Baru pada tanggal 19 Februari 1906 terjadi upacara permandian pertama di Loon yaitu diberikan pada Carolus anak StanislausWatalik dan pembaptisan kedua terjadi pada tanggal 25 September 1906 pada Mathias Mobies anak Sibit

Persiapan untuk bertumbuhnya iman

n Juli 1888 membutuhkan waktu lama untuk bertumbuh. Sejarah mencatat bahwa baru pada tanggal 10 Juli 1901, beberapa tokoh asal kampung Kelanit pergi ke Langgur untuk menemui pater Mertens dan menyatakan keinginan penduduk kampung Kelanit untuk menjadi Katolik.. Setelah pater Mertens menerima informasi dari beberapa tokoh tersebut maka beliau merasa gembira dan dalam waktu singkat menunjuk dan sekaligus mengutus bapak guru ISAIAS NAI KELANIT sebagai guru agama. Pada tanggal 18 Juli 1901 beliau membuka sebuah sekolah di kampung Kelanit dengan 11 orang murid, suatu jumlah yang menurut ukuran kita sekarang sangat sedikit dan tidak berarti, tapi pada waktu itu jumlah ini sangat besar artinya.
Mulai saat itu persiapan dilakukan oleh katekis pertama yang berfungsi ganda sebagai katekis maupun guru biasa. Beliau mulai berkarya dengan baik sekali, dan berdasarkan data Gereja, sejak tahun 1901 itu jumlah kampung yang secara positif menanggapi Agama Katolik di kepulauan Kei ada sebanyak 16 kampung.
Walau sudah dipersiapkan tetapi pada tahun 1901 itu belum seorangpun dari kampung ini resmi dibaptis, karena untuk pembaptisan dibutuhkan persiapan yang matang dan mantap.

Masuknya benih Iman Katolik ke Kelanit

Bab II ini mengisahkan keadaan kampung Kelanit sebelum tahun 1902. Dalam bab ini penulis juga akan melukiskan hal-hal yang berhubungan dengan penaburan benih Iman katolik di kampung Kelanit pada waktu itu.
Berbicara tentang masuknya Agama Katolik di Kelanit, maka tidak boleh kita lewatkan sejarah umum tentang masuknya Agama Katolik di Maluku dan kepulauan Kei khususnya.
Agama Katolik masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke XVI dengan datangnya seorang pastor Yesuit berkebangsaan Spanyol yaitu FRANSISCUS XAVERIUS dan yang kini menjadi pelindung Keuskupan Amboina.Dengan kedatangannya itu penduduk Maluku terutama di pulau Ambon dan sekitarnya menjadi orang Katolik. Tercatat dalam sejarah Gereja bahwa pada tahun 1538 orang Ambon sudah mulai mengenal Agama Katolik.
Tahun 1546 sampai 1547 Fransiscus Xaverius bekarya di Ambon, Ternate dan Halmahera Utara.
Beliau pernah menulis surat kepada rekan-rekannya di Roma pada bulan Januari 1548 yang isinya antara lain: “Rangkaian kepulauan ini penuh dengan penghiburan rohani yang begitu mendalam dan tahan lama, maka layaknya kalau kepulauan ini dijuluki Kepulauan Pengharapan Dalam Allah
Pada tahun 1605, VOC mengeluarkan larangan kegiatan Gereja Katolik di Maluku. Hal ini tentu merupakan penghambat besar perkembangan agama kita. Karena lama tidak ada gembala yang melayani kebutuhan rohani umat Katolik dipulau Ambon dan sekitarnya yang ibarat anak ayam kehilangan induk, maka pada akhirnya mereka yang sudah Katolik berubah haluan dan menjadi penganut aliran Protestan. Dengan demikian tujuan akhir larangan VOC itu telah tercapai.
Kurang lebih 350 tahun kemudian barulah apa yang pernah ditulis oleh Fransiscus Xaverius dapat dipenuhi.
Kalau dalam tahun 1605 VOC yang pemimpinnya beragama Protestan berupaya menyebarkan gereja Protestan di pulau Ambon dan sekitarnya dengan melarang kegiatan Gereja Katolik, maka pada akhir abad ke XIX atas jasa seorang Protestan pulalah agama Katolik kembali lagi ke Maluku, tepatnya di Langgur kepulauan Kei.
Agama Katolik kembali ke Maluku dan berpusat di Langgur,atas jasa seorang warga Jerman bernama ADOLF LANGEN. Beliau menjadi direktur Firma Langen & Co di Tual sejak tahun 1882, dan ia juga mempunyai perusahaan lain di Nusa Tenggara.
Gagasannya untuk turut membantu penyebaran agama Katolik di sini (Kei) selain disampaikan kepada pembantunya VOVOT TELYOARUBUN yang berasal dari kampung Revav, juga disampaikan kepada orang-orang lain termasuk dari kampung Kelanit dan Bapak Andreas Kilmas memberikan kesaksian mengenai hal itu, berikut hasil wawancara kami dengan beliau:
Penulis : Coba bapak ceriterakan sedikit pengalaman tentang tuan Lang sebelum agama Katolik masuk ke sini (Kei)
Bpk. Andreas : Sebelum agama Katolik masuk, maka agama Islam sudah lebih dahulu hadir di Kei. Pada suatu hari saya dan Bpk.saya datang jual kayu balok di Tual. Kayu dijual kepada tuan Lang, tuan Kim dan tuan Wail. Tuan Lang waktu itu punya pabrik penggergajian kayu yang lokasinya di sekitar Masjid Raya Tual sekarang. Mereka ini orang Barat. Pada waktu itu kami ada nonton orang Islam buat upacara agama, maka orang Barat itu katakan kepada kami: “Nanti kami minta satu agama yang bagus untuk kamu”, Ini saya dengar langsung, bukan dari cerita orang lain, jadi anak harus percaya itu.
Menurut beberapa sumber sejarah, diantaranya “100 tahun perkembangan agama Katolik di kepulauan Kei” yang ditulis oleh Bpk PH.Renyaan, bab II menyebutkan bahwa pada suatu ketika sepuluh kepala kampung mendesak Bapak Adolf Langen untuk memperkenalkan agama Kristen kepada mereka, dan tergeraklah hatinya untuk menyebarkan iman kristiani kepada penduduk kepulauan ini, apalagi beliau sudah mengenal budaya Kei yang begitu baik.
Pada suatu kesempatan beliau pergi ke Batavia untuk bertemu langsung dengan Mgr.Adamus Carolus Claesens,Vikaris Apostolik Indonesia waktu itu untuk menyampaikan maksudnya. Namun sang Uskup membutuhkan permohonan tertulis untuk mempermudah urusan dengan pemerintah Belanda.
Sekembalinya ke Tual pada tanggal 24 Septembet 1886 tuan Lang mengirim surat kepada Mgr.Claesens untuk memenuhi anjuran beliau itu. Setelah menerima surat itu, Mgr.Claesens mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Otto van Rees, dan baru sekitar dua tahun kemudian Mgr.Claesens memperoleh izin resmi dari Gubernur Jenderal lewat suratnya tertanggal 10 Februari 1888.
Perlu diketahui bahwa kontak bapak Uskup dengan gubernur jenderal diadakan di istana Bogor pada tanggal 12 Oktober 1886, namun gubernur jenderal pada saat tatap muka itu belum memberikan jawaban, sebab perlu mengadakan peninjauan dan pengecekan langsung ke lapangan. Untuk itu beliau mengutus asisten residen Gorontalo Baron G.W.Van Hoevel untuk melakukan peninjauan tersebut. Pada bulan September 1887 Baron Van Hoevel datang di Tual untuk mempelajari sifat, watak dan budaya suku Kei, sekaligus meneliti apakah benar adanya keinginan masyarakat untuk menjadi Kristen atau tidak. Dalam bulan Desember 1887, Baron Van Hoevel memasukkan laporannya kepada gubernur jenderal Otto Van Rees, Laporan assisten residen Gorontalo itu memperkuat permohonan lisan Mgr. Claesens dan permohonan tertulis Adolf Langen, sehingga surat izin gubernur jenderal dikeluarkan.
Berdasarkan surat izin gubernur jenderal tersebut, maka Mgr.Claesens lewat surat keputusan tanggal 12 Mei 1888 menetapkan dan mengalih tugaskan :
1. Pastor Yohanes Kusters.SY (35 tahun) untuk membuka stasi baru di kepulauan Kei.
2. Pastor Yohanes Booms SY (38 tahun) untuk tugas yang sama
Mereka tiba di Tual dengan menumpang kapal Amboina pada tanggal 1 Juli1888 dan dijemput oleh Adolf Langen. Lewat cerita di atas terbukti apa yang telah diungkapkan Bpk. Andreas Kilmas tentang janji tuan Lang.
Ketika kedua Pastor itu mendarat, untuk sementara Pater Kusters menginap di rumah tuan Lang, sedang Pastor Booms menginapdi rumah Bpk Yoakhim (tuan Kim), seorang karyawan Adolf Langen yang beragama Katolik. Dapat dimaklumi bahwa di situ belum ada sebuah rumah tinggal khusus untuk kedua pastor, dan sesudah beristirahat beberapa hari, dalam bulan Juli 1888 kedua imam tersebut mulai mengadakan kunjungan perdana ke kampung-kampung dengan diantar oleh tuan Lang.
Kampung pertama yang dikunjungi adalah kampung Kelanit, kemudian Evu, Tetoat, Debut dan Leftuan . Walaupun kampung Kelanit yang pertama didatangi dan ditaburi iman Katolik, namun iman itu belum cepat bertumbuh.. Di setiap kampung yang disinggahi, mereka diperkenalkan oleh tuan Lang kepada penduduk sambil dijelaskan pula maksud dan tujuan keberadaan mereka di kepulauan Kei, sehingga kalau ada orang yang hendak mengikuti pelajaran agama, mereka boleh datang ke rumah tuan Lang di Tual.
Kita boleh bangga bahwa benih iman yang pertama yang jatuh di kepulauan Kei ada di kampung Kelanit, namun dibalik itu harus kita akui pula bahwa benih yang ditabur itu akan memakan waktu cukup lama untuk bertumbuh. Dan baru kira-kira tiga belas tahun kemudian benih ini menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan
Mengapa kampung Kelanit merupakan kampung pertama yang dikunjungi? Hal ini disebabkan karena
a. Kampung Kelanit letaknya dekat dengan Tual dan mudah dijangkau lewat laut.
b. Karena tuan Lang memiliki usaha di sini
c. Tuan Lang ingin mempersunting salah seorang gadis di sini.
Generasi penerus desa ini perlu juga mengetahui bahwa karena letaknya dekat, dan cukup tersedia bahan baku kayu untuk memajukan usahanya, maka tuan Lang telah mempercayai seorang putra kampung ini untuk menjadi mandor yang menjaga dan mengatur hasil kayu yang dibelinya di sekitar kampung ini
Sementara itu Mgr.Claesens dengan suratnya tertanggal 29 Mei 1889 memindahkan kembali pastor Yohanes Booms SY ke Larantuka, dan karenanya di Tual tinggal hanya seorang pastor tanpa umat asli Kei kecuali bapak Yoachim atau tuan Kim. Baru setelah dua bulan kemudian barulah terjadi peristiwa bersejarah di kepulauan Kei, yaitu baptisan pertama MARIA SAKBAUW (3th) oleh pastor Kusters SY di Langgur pada tanggal 13 Juli 1889, yang kemudian dilanjutkan dengan pembaptisan tanggal 4 Agustus dan 1 September tahun yang sama kepada puluhan orang dewasa di Langgur. Untuk memperlancar pelayanan umat, pastor Kusters SY kemudian mendirikan sebuah pastoran kecil di Langgur. Beliau menetap hampir 10 tahun di Langgur dan selama itu telah banyak umat yang dibaptis.
Tahun 1900 tersiar berita bahwa pastor Kusters yang kemudian dikenal dengan nama panggilan tu’an Tu akan dipindahkan, dan hal itu menjadi kenyataan yakni pada tanggal 22 Mei 1901 pastor Yakobus A.Mertens SY tiba di Langgur untuk menggantikan pastor Kusters SY.
Sebelum acara serah terima, tu’an Tu masih sempat tinggal bersama umat Katolik di kampung Ngilngof selama dua minggu, dan pada tanggal 26 Juli 1901 diadakan serah terima tugas dari pater Yohanes Kusters SY kepada pastor Yacobus A.Mertens SY dan pastor Bijsterveld SY, dan akhirnya pater Kusters atau tu’an Tu berangkat meninggalkan tanah Kei.
Menurut bapak PH. Renyaan dalam bukunya 100 tahun Agama Katolik di Kepulauan Kei” ada tiga perahu belang dan ratusan umat mengantar beliau ke kapal. Saat itu banyak umat yang mencucurkan air mata karena cinta mereka kepada rasul pertamaNya.
Rasul pertama ini mula-mula dipindah ke Malang dan dalam tahun itu juga dipindah lagi ke Padang, kemudian kembali ke Magelang, dan setelah mengabdi selama 37 tahun dalam tugas imamat di Indonesia, beliau dipanggil Tuhan pada tanggal 30 Agustus 1921 di Magelang.. Suatu kelebihan dari almarhum ialah bahwa selama bertugas di Indonesia beliau tidak pernah cuti ke tanah asalnya negeri Belanda.. Oleh panitia perayaan100 tahun Agama Katolik kembali ke Maluku di Langgur, akhirnya kerangka rasul pertama kepulauan Kei itu digali dan dibawa kembali dan dimakamkan di Langgur tepat di lokasi peringatan 100 tahun, berdampingan dengan taman ziarah Johannes Aerts MSC
Lokasi peringatan 100 tahun ini kemudian ditetapkan sebagai pusat agama Katolik di kepulauan Maluku oleh Mgr. A.P.C.Sol MSC dalam kotbahnya pada tanggal 13 Juli 1989.

2. Totemisme

Kepercayaan yang disebut “TOTEMISME” : juga merupakan budaya yang sudah lama berkembang di masyarakat Kelanit.
Khusus di kampung ini ada sejenis ikan puri dalam bahasa Kei disebut “NGABIR” yang menjadi ikan pusaka karena ikan ini sudah sejak lama ada dan ditangkap sejak leluhur sampai turun-temurun.
Ikan’ NGABIR’ sebenarnya termasuk ikan yang hidup di laut dalam, akan tetapi ikan Ngabir di sini memiliki kelainan karena sejak ratusan tahun keadaannya sama saja. Ikan ini pada masa tertentu dapat berkumpul di dekat pantai diantara pohon-pohon bakau dan secara tradisional dapat ditangkap pada waktu meti Kei yaitu dari bulan Agustus sampai bulan November pada kedalaman rata-rata 50 cm.
Adanya jenis ikan ini bagi masyarakat Desa Kelanit waktu lalu, dapat dihubungkan kembali dengan legenda tentang kisah perjalanan “NEN TEIDAR” yang sakti itu dalam perjalanan ke arah Utara setelah terjadinya DANAU ABLELdi desa Ngilngof. Dalam dongeng rakyat yang terkenal, di bagian Barat Laut Kei Kecil ini diceritakan pula bahwa bekal yang dibawa oleh Nen Teidar tertumpah di teluk “UUN” dan berubah menjadi ikan ngabir, sedangkan airnya yang hijau kekuning-kuningan itulah yang menyebabkan warna laut teluk ini pada waktu waktu tertentu berwarna seperti itu.
Berikut akan dijelaskan tentang proses penangkapan ikan ngabir. Kalau kita ikuti dengan saksama maka dalam proses ini dari awal sampai tuntas sudah terlaksana di dalamnya penghayatan sila-sila dalam Pancasila.
Bila Ngabir sudah masuk di teluk Uun, maka Tuan Tanah (Marga Rumyaan) memasang sasi (Hawear) di tengah teluk. Hawear diikat pada sebatang kayu yang cukup tinggi sehingga bila air pasang tidak terendam air laut, dan tetap kelihatan sekaligus ia membawa persembahan dengan doa adat (toar teroman) kepada yang empunya ikan (Nen Teidar) untuk tetap menjaga agar ikan ngabir jangan beralih ke laut dalam atau ke tempat lain.
Sejak saat itu orang dilarang keras untuk menangkap ikan tersebut sendiri-sendiri dan semua wanita yang hamil dilarang keras berjalan kaki melewati teluk itu bila air meti. Mereka harus berjalan keliling lewat bagian darat.
Dulu orang-orang tua mengatur tempat penangkapan dengan susunan batu atau lutur berbentuk huruf “W” dan akhirnya berbentuk huruf “V”. Timbul pertanyaan : mengapa huruf “W” dan “V”? Ikuti penjelasan berikut ini:
Mulanya orang menggunakan huruf “W” karena pada bagian pusat penangkapan yang disebut TIVUN, berdiri dua Kepala Marga yaitu Marga Kelanit dan Marga Rumyaan seperti tertera dalam gambar sketsa terlampir.
Ketinggian Lutur atau tembok batu itu berkisar antara 75 cm hingga 1 meter saja, supaya pada waktu air pasang, ikan dapat masuk dan berkumpul di dalam teluk sehingga mudah ditangkap pada waktu air surut / mati nanti.


Memurut kisah yang pernah penulis ungkapkan sebelumnya, Marga Kelanit tidak menetap di kampung ini melainkan telah berangsur-angsur pindah ke desa-desa tetangga sehingga kemudian keadaan berubah. Karena kepindahan itu maka posisi Lutur oleh para leluhur diubah kembali menjadi berbentuk huruf “V”. Dengan perubahan bentuk dari huruf “W” menjadi “V”, maka Tivun tetap dijaga oleh Marga Rumyaan sebagai tuan tanah sampai sekarang.
Zaman berganti seperti peribahasa Kei yang bunyinya; “LUS NABTU NE LAWADAR ENSOAK – TUV ENSU NE HAAR ENDAT – TUUR ENMEL NE AINGAM ENSAK” yang berarti Burung Lus sudah tua dan pohon lawadar (sejenis pohon di pantai) sudah merunduk, generasi lama beralalu-generasi baru datang-kokoh bertumbuh dan pohon/agama tegak semakin canggih.
Keadaan lokasi penangkapan itu kini berubah total. Sejak kurang lebih seabad yang silam tembok batu sudah dirusak oleh tangan manusia dan pukulan ombak, bahkan ada yang terpendam oleh pasir bercampur lumpur.
Pada waktu yang kemudian penduduk menggunakan daun kelapa yang ditindis dengan batu sebagai pengganti tembok ‘Lutur’ dan berbentuk huruf “V” ; ini dipakai dan diganti setahun sekali pada setiap musim meti Kei.
Selanjutnya setelah pemasangan Sasi (Hawear) Tuan Tanah akan lebih awal menyampaikan pemberitahuan kepada Mitu Duan (Kepala Marga Kilmas) selaku pemimpin pemukiman yang melaksanakan fungsi pemerintahan adat pada masa itu. Namun setelah pengangkatan Kepala Kampung maka kemudian Tuan Tanah melapor kepada Kepala Kampung selaku pemegang pemerintahan Adat tertinggi di kampung. Setelah pimpinan kampung/desa diberitahu maka diadakan musyawarah kampung antara Kepala kampung, Mitu Duan, bersama tuan tanah dan Kepala/Saniri semua Marga untuk menetapkan hari jatuh tempo mengadakan panen ikan pusaka ini. Hasil musyawarah ini disampaikan kepada seluruh masyarakat Kampung Kelanit untuk menyiapkan alat penangkap ikan ‘Ngabir’.
Dulu pada masa para leluhur (Teteen) biasanya berita ini disampaikan juga kepada yanar-urar (sanak-saudara)yang kawin di kampung-kampung tetangga agar mereka turut hadir pada waktu itu, karena mereka juga akan mendapat bagian dari hasil tangkapan itu, karena menurut kebiasaan zaman dulu setelah ikan ditangkap, dikumpulkan semua, dan baru dibagi sama rata kepada semua keluarga termasuk Yanur yang datang. Maklumlah bahwa saat itu penduduk masih sedikit sehingga semua mudah diatur, berbeda dengan keadaan berikutnya, apalagi pada waktu sekarang.. Jadi pada saat itu benar-benar keadilan sosial.dapat terlaksana.
Sudah disinggung oleh penulis bahwa dalam proses penangkapan ikan ini benar benar para leluhur (Teteen) telah melaksanakan azas azas Pancasila. Mulai dari Tuan Tanah menyampaikan’ Toar Teroman’(doa syukur) yaitu Sila ke Tuhanan. Kemudian ada rasa kebersamaan dan melapor kepada pimpinan kampung, yaitu ada dua sila yang sekaligus dilaksanakan yakni Kemanusiaan dan Persatuan, sedang musyawarah merupakan pelaksanaan sila keempat.Lalu sila kelima yaitu Keadilan Sosial terlaksana pada saat pembagian hasil tangkapan kepada seluruh keluarga termasuk Yanuur secara merata.
Sengaja masalah ini dikaitkan oleh penulis supaya generasi zaman sekarang dapat membuktikan bahwa Pancasila yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia waktu dulu sudah dilaksanakan oleh leluhur kita di Kampung Kelanit juga.
Mari sekarang kita lanjutkan dengan persiapan alat penangkap ikan Ngabir. Kaum perempuan dapat menggunakan ayak-ayak yang biasa digunakan untuk mengayak sagu atau enbal dan sebuah seloi atau yafar (lamin). Sedang kaum pria biasa menggunakan sebuah alat penangkap ikan tradisionil yang disebut “MUTUT’. Alat tersebut terbuat dari lidi daun kelapa yang dianyam dengan tali ditopang beberapa bilah bambu.
Cara memegang alat penangkap (“MUTUT”)
Tangan kanan / tangan kiri memengang (no1) ; Tangan kanan / tangan kiri memengang (no2)
Cara menimbah ikan:
Masukkan alat tangkap kedalam air seperti pada gambar II tapi harus diingat bahwa no 1 agak terangkat sedikit dan bila ikan sudah masuk, bagian tangan di no 2 dengan cepat diangkat diikuti dengan no 1 ; lalu tumpahkan ke dalam sampan/perahu atau seloi. Setelah itu kembali seperti sikap semula. Bila ikannya banyak, maka tangan kita digerakkan cepat dan berulang-ulang sehingga banyak ikan yang diperoleh.
Setelah selesai penangkapan ikan Ngabir tersebut, maka semua hasil tangkapan dikumpulkan dan dibagi secara merata. Keadilan sosial yang sangat asli ini tidak dapat dipertahankan seperti terungkap dalam Peribahasa di atas tadi.
Kondisi sosial sudah berubah 180 derajat, sehinga pada akhirnya saat panen raya, masing-masing orang menangkap sesuai kemampuannya. Tak ada lagi pembagian-pembagian yang merata karena manusia bertambah banyak.
Penangkapan ikan Ngabir terakhir yang terjadi dengan cara tradisional terjadi pada musim meti Kei bulan Oktober 1980, beberapa minggu setelah upacara pentabhisan Pastor John Lefteuw MSC di Gereja Kathedral Langgur.
Setelah tahun 1980, ikan Ngabir tidak dapat lagi dengan mudah ditangkap secara tradisional. Hanya ada sedikit ikan Ngabir memasuki teluk Uun. Salah satu penyebabnya ialah sebelum mereka sempat masuk ke teluk, ikan itu sudah tertangkap oleh alat-alat penangkap lain seperti sero gantung atau bagan. Mungkin ada sebab-sebab lain yang dapat diungkapkan melalui penelitian ilmiah.
3. Kepercayaan kepada Roh Leluhur :
Seperti keadaan umumnya pada masyarakat Kei, penduduk di Kampung Kelanit tidak lepas dari kepercayaan yang satu ini. Hal ini biasa ditemukan pada acara-acara tertentu misalnya pada saat ‘dok vain’
Mengawali semua rentetan acara dek vain, acara pertama adalah saat pihak Mangohoi Utin akan menaikkan doa kepada para leluhur agar turut hadir dan merestui pertemuan adat tersebut agar tidak mengalami hambatan. Caranya pihak Yanur menyerahkan satu tahil mas disertai sejumlah uang kepada pihak Mangohoi Utin, kemudian barulah Mangohoi Utin membuka pertemuan adat tersebut
Dalam susunan adat Kei hal ini disebut Nit Saksak Vatvatuk .
Contoh lain : Pada acara Fa i’ fak (perpisahan) bagi seseorang yang akan ke luar meninggalkan desa untuk sesuatu maksud tertentu misalnya : pergi berperang, melanjutkan studi, atau bertugas ke tempat lain.
Kesemuanya ini tersimpul dalam satu peribahasa Evav yang berbunyi :”TAFLUR NIT NE TSOB DUAD – HOAR TUVLAIYO”
Jadi kesimpulannya adalah bahwa masyarakat Kampung Kelanit juga percaya, bahwa roh leluhur / orang yang telah meninggal, turut menentukan nasib kita yang masih hidup.
4. Kepercayaan akan kekuatan gaib :
Kepercayaan bahwa pada diri seseorang terdapat kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi manusia lain.
Hal ini terbukti misalnya orang Teteen kampung ini juga percaya akan seseorang untuk meramalkan sesuatu dengan menggunakan daun-daun, air putih di gelas atau sisa-sisa kopi di gelas dan sebagainya.
Dapat dicatat pula bahwa pada akhirnya keadaan yang telah disebutkan itu dapat membawa dampak positif maupun negatif. Dikatakan demikian karena ada orang yang menggunakan kekuatan magic itu untuk maksud baik atau menguntungkan misalnya menyembuhkan penyakit, mencegah bahaya, namun sebaliknya ada orang yang menggunakannya untuk merugikan orang lain. Maka dapat disimpulkan bahwa ada praktek white magic, tapi ada pula praktek black magic yang merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran agama yang datang ke kampung Kelanit.ini.
Demikianlah telah diuraikan kepercayaan asli yang ada di kampung ini agar para pembaca dapat mengetahuinya.

Kepercayaan lama orang kampung kelanit


Sebelum masuknya agama Katolik di kampung Kelanit, masyarakat di sini masih menganut kepercayaan lama seperti yang umum terdapat di kampung-kampung lain di seantero Kepulauan Kei ini.
Kami dapat menyebutkan beberapa contoh yang terdapat di kampung ini, antara lain :
1. Animisme
. Kepercayaan yang disebut “Animisme” : yaitu kepercayaan bahwa ada benda-benda di alam ini yang mempunyai roh. Untuk kepercayaan yang satu ini, penulis ingin menjelaskan sepintas sebagai berikut :
Sejak orang bermukim di atas bukit Mabait, penduduk telah memiliki suatu Mitu yang diberi nama “HAWEAR VAT” atau disingkat “HAVAT” dan di museum Leiden – Belanda disebut “WERWAT”
Sebutan ini perlu diklarifikasi agar jangan lagi jadi suatu masalah sosial seperti nama Desa Kelanit yang telah kami jelaskan dalam Bab I, yang sebenarnya hanya menyangkut masalah ejaan saja.
Orang-orang tua menyebut Hawear dengan bunyi Ha yang hampir tidak kedengaran jelas, sedangkan Wear jelas kedengaran, dan karena itu orang Barat menyebut Wer dengan suku kata terakhir Vat dengan sangat jelas, karena memang ejaan bahasa Kei pada umumnya memberi tekanan (ucapan) pada suku kata terakhir, sedangkan huruf W yang kedua dibaca V. Ini jelas terlihat pada fotocopy terlampir.
Menurut keterangan bahwa pada awalnya Patung ini terdiri dari patung seorang Ibu dan anaknya, namun karena tidak diketahui dengan pasti siapa pembawa benda-benda ini ini dari Desa Kelanit keluar negeri, tidak ada data resmi di Desa yang dapat menjadi bukti penyerahan atau penjualan kepada orang atau Badan/Lembaga tertentu, maka jelaslah bahwa benda-benda itu dapat digolongkan sebagai barang curian atau selundupan, dan suatu ketika bila dapat terungkap, oknum atau lembaga yang membawa keluar alias menyelundupkan kedua patung ini akan harus mempertanggungjawabkannya.
Berdasar pada keterangan lisan dari bagian informasi museum Leiden pada bulan Mei 2005 kepada Bpk.Ricky Lefteuw dan kemenakannya Ibu Ida Kilmas/R, patung Wear Vat / Havat ini diterima sebagai suatu hadiah, tetapi tidak jelas dari pribadi atau lembaga mana. Sedangkan patung anaknya tidak berada di museum tersebut. Mungkin ada di museum lain, entah di Eropah atau mungkin masih di Indonesia atau memang sengaja dihilangkan.
Menurut keterangan lisan itu, patung-patung terbuat dari sejenis kayu keras. Patung-patung ini berada di bukit Masbait, lokasi Ohoi Kebav yang dihuni Marga Rumyaan dan Kilmas, dan yang menjadi penjaga dan pembawa persembahan adalah Kepala Marga Kilmas Lekesubun, karena mata rumah Kilmas yang lainnya bermukim di kampung tetangga seperti Dudunwahan dan Ohoidertawun.
Menurut kepercayaan para leluhur, bila ada orang yang melakukan pelanggaran hukum, ia akan dihukum sesuai dengan perbuatannya, dan hukumannya tersebut berupa : sakit perut, sakit menikam, perut membatu, bahkan dapat menimbulkan wabah.
Apabila kita perhatikan patung HAWEAR VAT, maka pada bagian bawah perutnya ada sebuah lubang yang dapat ditutup dengan papan semacam pintu. Bila Mitu Duan membawa persembahan atau kurban alias sirih pinang, maka ia dapat dimasukkan saja ke dalam lubang tersebut.
Menurut cerita Bapak Andreas Kilmas kepada penulis, bahwa di beberapa tempat kadang kala terlihat seorang ibu yang mondar-mandir seolah-olah mencari sesuatu. Bila hal itu terjadi maka ada pertanda bahwa bahaya akan segera datang menimpa orang-orang atau penduduk kampung itu. Oleh karena itu kejadian itu sangat ditakuti oleh penduduk kampung ini dan kampung-kampung tetangga bahkan sampai ke pulau Ut dan Teor.
Di tempat aslinya di Ohoi Kebav hanya dikelilingi tembok batu atau lutur (bahasa Kei) yang tidak sempurna lagi dan sudah hampir hilang jejaknya karena Mitu tersebut sudah sejak lama tak berada di situ lagi. Mudah-mudahan di masa mendatang tempat aslinya memperoleh perhatian sehingga dapat dipugar kembali dan tidak tertutup kemungkinan untuk dibuat duplikat patung-patung tersebut untuk ditempatkan di situ sebagai pelestarian budaya dan akhirnya akan menjadi salah satu asset Desa di bidang Pariwisata.
Dalam masa penjajahan, tepatnya pada tahun 1914, benda bersejarah ini telah dibawa keluar kampug ini dan akhirnya tembus ke negeri Belanda dan kini tersimpan di Museum Leiden sebagai bagian koleksi benda-benda purbakala Museum tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya, tentang benda-benda bersejarah yang dibawa ke luar negeri ini Desa Kelanit tidak memiliki data apapun juga. Timbul pertanyaan; dengan dasar apa benda-benda tersebut dibawa ke luar tanpa sepengetahuan orang yang menjaganya? Siapa yang membawanya harus bertanggung-jawab karena bila tidak ada dasar hukumnya maka itu adalah illegal. Kita merasa bersyukur kaena ke dua benda tersebut tetap terawat dengan baik sampai sekarang, walaupun sekarang ke dua benda tersebut merupakan bagian koleksi sekaligus memasukkan modal ke Kas Negeri Belanda cq. Museum Leiden.
Usaha untuk mengembalikan benda tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena itu menurut penulis salah satu solusi terbaik adalah sebagai berikut :
a. Memugar kembali tempat aslinya di Ohoi kebav.
b. Diupayakan arca baru berupa duplikat untuk disemayamkan di lokasi tersebut.
Sehubungan dengan itu dapat diketahui pula bahwa Patung Hawear Vat itu sendiri berukuran tinggi 165cm.
Mengakhiri penjelasan mengenai kepercayaan terhadap Mitu ini, penulis sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan maupun Leluhur karena telah memberi jalan kepada penulis utnuk menemukan kembali gambar / foto dari Hawear tersebut.
Pembaca boleh mengetahui juga bahwa sebenarnya penulis telah memiliki data berupa foto copy dari Hawear Vat lewat usaha dari Pastor John Lefteuw msc pada tahun delapan puluhan, sewaktu beliau studi di Roma. Namun akibat pengungsian saat ke rusuhan di Tual tahun 1999, gambar /foto copy tersebut tidak diketemukan lagi. Namun atas usaha penulis menghubungi Bpk. Ricky Lefteuw dan kemenakannya Ibu Ida Kilmas/R yang berhasil menemukan Hawear Vat di Museum Leiden pada bulan Mei 2005 yang lalu, penulis memperoleh fotonya
Maka pada kesempatan ini pula secara pribadi penulis menyampaikan terima kasih kepada kakak Ricky Lefteuw dan Ibu Ida Kilmas/R yang sudah mendukung penulis dalam penulisan karya sejarah ini.
Dengan demikian itu telah menghilangkan keraguan kita selama ini dan merupakan suatu dokumen sejara budaya kita yang otentik.