Selasa, 01 Maret 2011

Kepercayaan lama orang kampung kelanit


Sebelum masuknya agama Katolik di kampung Kelanit, masyarakat di sini masih menganut kepercayaan lama seperti yang umum terdapat di kampung-kampung lain di seantero Kepulauan Kei ini.
Kami dapat menyebutkan beberapa contoh yang terdapat di kampung ini, antara lain :
1. Animisme
. Kepercayaan yang disebut “Animisme” : yaitu kepercayaan bahwa ada benda-benda di alam ini yang mempunyai roh. Untuk kepercayaan yang satu ini, penulis ingin menjelaskan sepintas sebagai berikut :
Sejak orang bermukim di atas bukit Mabait, penduduk telah memiliki suatu Mitu yang diberi nama “HAWEAR VAT” atau disingkat “HAVAT” dan di museum Leiden – Belanda disebut “WERWAT”
Sebutan ini perlu diklarifikasi agar jangan lagi jadi suatu masalah sosial seperti nama Desa Kelanit yang telah kami jelaskan dalam Bab I, yang sebenarnya hanya menyangkut masalah ejaan saja.
Orang-orang tua menyebut Hawear dengan bunyi Ha yang hampir tidak kedengaran jelas, sedangkan Wear jelas kedengaran, dan karena itu orang Barat menyebut Wer dengan suku kata terakhir Vat dengan sangat jelas, karena memang ejaan bahasa Kei pada umumnya memberi tekanan (ucapan) pada suku kata terakhir, sedangkan huruf W yang kedua dibaca V. Ini jelas terlihat pada fotocopy terlampir.
Menurut keterangan bahwa pada awalnya Patung ini terdiri dari patung seorang Ibu dan anaknya, namun karena tidak diketahui dengan pasti siapa pembawa benda-benda ini ini dari Desa Kelanit keluar negeri, tidak ada data resmi di Desa yang dapat menjadi bukti penyerahan atau penjualan kepada orang atau Badan/Lembaga tertentu, maka jelaslah bahwa benda-benda itu dapat digolongkan sebagai barang curian atau selundupan, dan suatu ketika bila dapat terungkap, oknum atau lembaga yang membawa keluar alias menyelundupkan kedua patung ini akan harus mempertanggungjawabkannya.
Berdasar pada keterangan lisan dari bagian informasi museum Leiden pada bulan Mei 2005 kepada Bpk.Ricky Lefteuw dan kemenakannya Ibu Ida Kilmas/R, patung Wear Vat / Havat ini diterima sebagai suatu hadiah, tetapi tidak jelas dari pribadi atau lembaga mana. Sedangkan patung anaknya tidak berada di museum tersebut. Mungkin ada di museum lain, entah di Eropah atau mungkin masih di Indonesia atau memang sengaja dihilangkan.
Menurut keterangan lisan itu, patung-patung terbuat dari sejenis kayu keras. Patung-patung ini berada di bukit Masbait, lokasi Ohoi Kebav yang dihuni Marga Rumyaan dan Kilmas, dan yang menjadi penjaga dan pembawa persembahan adalah Kepala Marga Kilmas Lekesubun, karena mata rumah Kilmas yang lainnya bermukim di kampung tetangga seperti Dudunwahan dan Ohoidertawun.
Menurut kepercayaan para leluhur, bila ada orang yang melakukan pelanggaran hukum, ia akan dihukum sesuai dengan perbuatannya, dan hukumannya tersebut berupa : sakit perut, sakit menikam, perut membatu, bahkan dapat menimbulkan wabah.
Apabila kita perhatikan patung HAWEAR VAT, maka pada bagian bawah perutnya ada sebuah lubang yang dapat ditutup dengan papan semacam pintu. Bila Mitu Duan membawa persembahan atau kurban alias sirih pinang, maka ia dapat dimasukkan saja ke dalam lubang tersebut.
Menurut cerita Bapak Andreas Kilmas kepada penulis, bahwa di beberapa tempat kadang kala terlihat seorang ibu yang mondar-mandir seolah-olah mencari sesuatu. Bila hal itu terjadi maka ada pertanda bahwa bahaya akan segera datang menimpa orang-orang atau penduduk kampung itu. Oleh karena itu kejadian itu sangat ditakuti oleh penduduk kampung ini dan kampung-kampung tetangga bahkan sampai ke pulau Ut dan Teor.
Di tempat aslinya di Ohoi Kebav hanya dikelilingi tembok batu atau lutur (bahasa Kei) yang tidak sempurna lagi dan sudah hampir hilang jejaknya karena Mitu tersebut sudah sejak lama tak berada di situ lagi. Mudah-mudahan di masa mendatang tempat aslinya memperoleh perhatian sehingga dapat dipugar kembali dan tidak tertutup kemungkinan untuk dibuat duplikat patung-patung tersebut untuk ditempatkan di situ sebagai pelestarian budaya dan akhirnya akan menjadi salah satu asset Desa di bidang Pariwisata.
Dalam masa penjajahan, tepatnya pada tahun 1914, benda bersejarah ini telah dibawa keluar kampug ini dan akhirnya tembus ke negeri Belanda dan kini tersimpan di Museum Leiden sebagai bagian koleksi benda-benda purbakala Museum tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya, tentang benda-benda bersejarah yang dibawa ke luar negeri ini Desa Kelanit tidak memiliki data apapun juga. Timbul pertanyaan; dengan dasar apa benda-benda tersebut dibawa ke luar tanpa sepengetahuan orang yang menjaganya? Siapa yang membawanya harus bertanggung-jawab karena bila tidak ada dasar hukumnya maka itu adalah illegal. Kita merasa bersyukur kaena ke dua benda tersebut tetap terawat dengan baik sampai sekarang, walaupun sekarang ke dua benda tersebut merupakan bagian koleksi sekaligus memasukkan modal ke Kas Negeri Belanda cq. Museum Leiden.
Usaha untuk mengembalikan benda tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena itu menurut penulis salah satu solusi terbaik adalah sebagai berikut :
a. Memugar kembali tempat aslinya di Ohoi kebav.
b. Diupayakan arca baru berupa duplikat untuk disemayamkan di lokasi tersebut.
Sehubungan dengan itu dapat diketahui pula bahwa Patung Hawear Vat itu sendiri berukuran tinggi 165cm.
Mengakhiri penjelasan mengenai kepercayaan terhadap Mitu ini, penulis sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan maupun Leluhur karena telah memberi jalan kepada penulis utnuk menemukan kembali gambar / foto dari Hawear tersebut.
Pembaca boleh mengetahui juga bahwa sebenarnya penulis telah memiliki data berupa foto copy dari Hawear Vat lewat usaha dari Pastor John Lefteuw msc pada tahun delapan puluhan, sewaktu beliau studi di Roma. Namun akibat pengungsian saat ke rusuhan di Tual tahun 1999, gambar /foto copy tersebut tidak diketemukan lagi. Namun atas usaha penulis menghubungi Bpk. Ricky Lefteuw dan kemenakannya Ibu Ida Kilmas/R yang berhasil menemukan Hawear Vat di Museum Leiden pada bulan Mei 2005 yang lalu, penulis memperoleh fotonya
Maka pada kesempatan ini pula secara pribadi penulis menyampaikan terima kasih kepada kakak Ricky Lefteuw dan Ibu Ida Kilmas/R yang sudah mendukung penulis dalam penulisan karya sejarah ini.
Dengan demikian itu telah menghilangkan keraguan kita selama ini dan merupakan suatu dokumen sejara budaya kita yang otentik.













2 komentar: