Minggu, 27 Februari 2011

NAMA DESA


Penulisan dan pengucapan nama desa GELANIT yang  keliru telah membudaya hingga kini dan merupakan masalah sosial yang perlu diluruskan. Tidak dapat disangkal bahwa nama GELANIT sudah dianggap sebuah nama yang baku. Namun kemudian ada dua nama yang digunakan ; nama ini lebih dikenal pada saat masuknya orang-orang Barat, terutama para pastor Belanda dan nama inilah yang tercatat dalam sejarah Gereja. Jadi tanpa disadari suatu kekeliruan sejarah mulai terpatri di kalangan umat setempat. Perlu juga disadari bahwa orang yang baru belajar suatu bahasa, pasti mengalami kesulitan dalam pengucapan.
Pada bagian ini penulis menyimpulkan kebenaran dari nama Desa ini dari hasil yang digali sebagai berikut :
1.      Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Andreas Kilmas pada tanggal 18 Januari 1979.
2.      Hasil wawancara penulis dengan Bapak Salvator Lefteuw, pensiunan guru pada hari Minggu tanggal 5 Desember 1982.
3.      Hasil wawancara penulis, sdr.Fredrik Lefteuw dan sdr Thoby Lefteuw dengan Bapak Kalean di Kelanit pada tahun 1994.[1]
Selain itu perlu dicatat bahwa nama desa ini pernah dibahas oleh Bapak pensiunan guru Salvator Lefteuw yang pada ketika itu masih aktif dengan Pastor Yoseph Clereks MSC pada tahun 1928.[2]
Menurut Pastor Yoseph Clereks MSC sesuai dengan catatan Tuan Bun, nama asli desa ini adalah “KOLANIT” yaitu karena menurut anggapan orang dulu bahwa siapa yang tinggal di tempat yang tinggi pasti berasal dari langit dan pengaruh ejaan, perlahan-lahan KOLANIT diucapkan sebagai “KELANIT”.
Dari sisi lain yakni sisi bahasa meskipun mengalami perubahan ejaan dari  KOLANIT menjadi KELANIT, namun masih tetap mempunyai arti karena kata KELANIT diuraikan dalam bahasa Kei menjadi Ke ental lanit yang artinya satu jari dari langit.
Ini menunjukkan tempat yang tinggi, sehingga masuk akal sebab yang dimaksudkan adalah Ohoi Keratat atau Ke Lanit itu sendiri, yang letaknya berada di atas puncak tertinggi di seluruh daratan Kei Kecil.
Pada masa penjajahan Belanda terutama setelah kepindahan dari El timur ke Ohoi Vihan sampai pada akhir abad XIX dan awal abad XX, para misionaris Eropah khususnya yan berasal dari negeri Belanda mulai masuk ke pelosok-pelosok untuk menabur benih iman Agama Katolik, maka nama kampung KELANIT dirubah sesuai ucapan mereka mejadi GELANIT.
Sekarang timbul pertanyaan, apa arti kata “GELANIT”? Penulis yakin bahwa tak seorangpun di kampung ini dapat menjawabnya. Apakah ini satu kata Melayu atau kata Latin atau bahasa Kei?
Kalau kita berbicara tentang suatu nama entah nama benda, nama orang, nama kampung atau Negara, pada umumnya nama itu diberikan sebagai suatu hadiah, kenangan atau penghargaan dari orang lain karena tertarik atau berdasarkan alasan tersendiri, kecuali dalam hal-hal khusus misalnya : perubahan nama seorang Paus atau seorang biarawati, akan ditentukan oleh yang bersangkutan sendiri.
Sejak awal mula pemberian nama itu sudah ada. Dalam kitab Kejadian 2:19 tertulis:” Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara, Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu.”
Semua nama itu seyogyanya mengandung arti serta maksud tersendiri sebagaimana pepatah Latin yang mengatakan “NOMEN EST OMEN” artinya “ NAMA ADALAH TANDA”.
Dari perspektif bahasa Kei tentang nama Kampung (Ohoi) Kelanit, penulis dapat menjelaskan sebagai berikut:
a.       Bila kita membolak-balik dengan seksama sebuah buku yang berjudul “MISIL-MASAL, LIAT-Dalil, SUKAT-SARANG Evav” cetakan ketiga, terbitan tahun 1989, yang merupakan hasil karya Alm. Bapak Philipus Renyaan, maka dalam kata pengantarnya di halaman 3 ditegaskan antara lain: “Kata-kata Evav asli tidak memiliki dua huruf mati yaitu (P) dan (G), sehingga kata Evav tidak tepat kalau ucapan “V” dituliskan dengan huruf “P”, contohnya Evav ditulis jadi EPAP. Demikian pula huruf “K” ditulis dengan huruf “G” misalnya “KELANIT” ditulis menjadi “GELANIT”    Dengan demikian maka sudah jelas bahwa kedatangan orang Barat pada umumnya dan para pastor Belanda yang membawa misi Gereja, dengan tanpa disadari telah sekaligus meletakkan dasar yang salah atau penyebab kekeliruan bagi nama desa Kelanit.
Penjelasan diatas menjelaskan akar permasalahan, yakni hanya karena kesalahan ejaan orang Barat yang menyangkut ucapan sehari-hari telah mempengaruhi tulisan-tulisan orang Barat itu sendiri
Contoh konkritnya : Mitu dari kampung kita yang dibawa sampai ke negeri Belanda (kota Leiden) disebut “WERWAT” padahal sebenarnya adalah “HAWEAR VAT” [3]
Apa yang telah dikemukakan oleh mantan ketua yayasan St.Willibrordus dalam buku tersebut, telah membuktikan suatu efek negatif terhadap bahasa Kei. Tak dapat disangkal bahwa lewat tulisan mereka, kata-kata bahasa Kei asli masih ada yang tersurat,namun ada juga kekurangan-kekurangan seperti yang telah diuraikan di atas.
b.      Kata “GELANIT” sampai saat ini belum terungkap arti serta maknanya yang jelas. Kembali lagi kita bertanya; ini bahasa Kei atau bahasa Melayu? Kata Gelanit tidak mengandung arti apa-apa, sebagai perbandingan kita dapat bertanya tentang nama semua Desa/Kampung di seluruh daratan Kei Kecil, dari Ohoidertutu di ujung Selatan sampai Ohoidertawun di ujung Utara, maka masing-masing nama Desa/Kampung diberi nama yang mengandung arti atau makna tersendiri, kecuali Kampung Gelanit.
c.       Kata KELANIT walaupun mengalami sedikit perubahan dari nama aslinya “KOLANIT” bila kita tinjau dari sudut bahasa maka masih memiliki arti.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kata KOLANIT memiliki hubungan arti dengan KELANIT. Keduanya memiliki hubungan maksud dan arti yakni tempat yang tinggi yaitu Langit.
Dikatakan demikian sebab kampung Kolanit berasal dari / dilahirkan oleh orang-orang “YAMIFAAK” yang berada di atas bukit. Berdasarkan artinya nama KELANIT yaitu “SATUJARI DARI LANGIT” maka secara logis dapat diterima sebab menurut pandangan orang dulu tempat yang tinggi itu adalah tempat yang dekat dengan langit.
d.      Selanjutnya menyangkut nama Desa Kelanit dapat kita ikuti cerita berikut ini:
Sekitar tahun 1906 sudah ada suatu gagasan yang disponsori oleh Alm. Guru Isaias Nai Kelanit.[4]
Perubahan yang dimaksud menyangkut nama Faam yang berbeda dengan nama kampung. Karena sampai saat itu nama Faam senantiasa sama dengan nama kampung. Sementara itu istilah Kelanit sudah populer di masyarakat. Namun karena beliau tahu dengan persis duduk permasalahannya maka beliau dengan berani mencoba gagasannya, yaitu berusaha merubah nama Faam Kolanit menjadi Faam ”HEMEL”. Sayang sekali penerapan gagasan itu hanya seumur jagung, karena setelah digunakan, akhirnya hilang dengan sendirinya, apalagi beliau sendiri tidak memiliki keturunan.
Nama kampung Gelanit semakin hari semakin dikenal penduduk sekitar, dan akhirnya dari hari ke hari semakin membudaya, dan sudah resmi digunakan pihak Gereja Katolik dan pemerintah Belanda.
Untuk memurnikan kembali nama Kampung /Desa ini, ada pula tokoh lain yang berupaya ke arah tersebut. Konon atas  prakarsa guru Salvator Lefteuw yang pada masa itu menjabat Kepala Sekolah Rakyat Katolik Gelanit pada masa perang Dunia II, ia dengan berani mengubah nama Sekolah Rakyat Katolik Gelanit menjadi Sekolah Rakyat RK Kelanit dan ini yang dikenal oleh Pemerintah RI.
Perubahan ini terjadi sejak tahun Ajaran baru 1954/1955 tepatnya tanggal 1 Agustus tahun 1954. Karena saat itu status SR III tahun, ditingkatkan menjadi SR VI tahun, sesuai dengan kriteria persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian PP & K RI pada waktu itu. Sejak saat itu semua adminstrasi sekolah tidak lagi menggunakan nama Gelanit tetapi KELANIT, termasuk nama Desa / Kampung, tapi ini hanya berlaku bagi administrasi sekolah.
Hal ini tentu mempunyai pengaruh. Mungkin dengan perhitungan biar lambat tapi pasti suatu  saat akan berhasil. Biar lambat asal selamat.
Sementara itu pihak pemerintah Desa sejak tahun 60 an baru ikut mengadakan penyesuaian nama, tepatnya tahun 1964 saat Bapak Herman Lefteuw menjabat sebagai ORANGKAY Kelanit, terus hingga zaman orde baru dan hingga kini dan seterusnya.
Dengan mulai digunakannya nama Desa Kelanit oleh SRRK Kelanit, maka sejak saat itu nama Kelanit digunakan hingga kini oleh Departemen Pendidikan Nasional dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai tingkat Pusat. Beratus-ratus ijazah,STTB, Surat keluar-masuk, SKEP Pengangkatan, mutasi guru dan pada berbagai surat dinas lainnya, digunakan nama KELANIT.
Dari pihak Pemerintah hal ini akhirnya lebih diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Undang-undang No.5 Thn. 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, dan kemudian sebagai tindak lanjut melalui Keputusan Gub.Maluku tentang penciutan Desa di Propinsi Maluku waktu itu, dimana salah satu isi Keputusan tersebut adalah terbentuknya Desa dan Dusun.
Berdasarkan daftar usulan Pemda Maluku Tenggara, maka desa Kelanit secara resmi berstatus sebagai Desa Definitif dengan satu anak desa yaitu Dusun Loon, dan hal ini mulai berlaku sejak tahun 1990.
Menurut pendapat penulis sendiri, penggunaan nama Kelanit sebagai nama Kampung/Desa adalah tepat, karena dari awal terbentuknya Kampung/Desa ini terletak diatas tanah pertuanan Marga Kelanit, walaupun sejak beberapa abad, mereka tinggalkan Kampung ini.


[1]   Untuk diketahui bahwa Bapak Kalean sesuai pengakuannya berasal dari Tanimbar Kei dan beliau adalah salah seorang turunan yang masih ada hubungan dengan sejarah desa ini.
[2]   Untuk diketahui bahwa Pastor Yoseph Clereks MSC tiba di Tual tanggal 24 Desember 1907 bersama Pastor Bernardus Thien MSC beserta sejumlah Misionaris lainnya.
[3]   HA sebagai suku kata pertama hampir tidak kedengaran. Yang terdengar adalah WEAR, tapi karena sulit diucapkan sehingga diucapkan sebabagi WER, dan akhirnya ditulit WERWAT (lihat terlampir artikel yang dibawa langsung daru Museum Leiden
[4]   Beliau berasal dari Desa Kolser dan menjadi guru agama di kampung Kelanit. Sebetulnya beliau adalah keturunan asli Faam Kelanit yang sudah pindah ke Kolser beberapa abad yang lalu.

ASAL USUL PEMUKIMAN


Sebelum kami menjelaskan tentang nama desa, maka sekilas kita melihat tempat asal pemukiman orang  di kampung ini pada ratusan tahun yang lalu.
Menurut cerita lisan dari Bapak Andreas Kilmas, pada waktu dahulu, di Bukit Masbait terdapat dua pemukiman, yaitu “OHOI KERATAT” dan “OHOI KEBAV”
Ohoi Kebav dihuni oleh marga/fam RUMYAAN sedang Ohoi Keratat dihuni oleh marga/fam KOLANIT (dari koko ertal lanit yang berarti orang-orang dari langit). Dikatakan demikian karena menurut pandangan orang Rumyaan yang tempat tinggalnya lebih rendah, mereka yang tinggal di atas puncak lebih dekat dengan langit, sehingga penduduk Ohoi Keratat lazim disebut koko ertal lanit.
Jauh sebelum kehadiran marga/fam Rumyaan dan Kelanit, sudah ada marga-marga lain yang pernah bermukim di bukit ini, namun penulis membatasi diri karena yang menjadi pokok pembahasan adalah proses terbentuknya kampung Kelanit, demikian halnya dengan legenda: Dari mana asal Marga Rumyaan dan Kelanit? Penulis tidak berhak untuk menceritakannya.
Selanjutnya pada suatu saat, datang pula dua kelompok baru yaitu Marga Lefteuw dan Marga Kilmas, kedua Marga inipun mempunyai perjalanan sejarah tersendiri dan tak perlu pula untuk diceritakan di sini.
Diceritakan pula bahwa terakhir kedua Marga ini pindah dari Kolser dan kedatangan kedua Marga inipun bukan pada saat yang sama. Marga Lefteuw diterima dan bergabung dengan Marga Kelanit dan tinggal di Ohoi Keratat, sedang Marga Kilmas diterima dan bergabung dengan Marga Rumyaan di Ohoi Kebav.
Perlu diketahui bahwa kedua permukiman tersebut, semuanya berada di atas Bukit Masbait namun agak berbeda ketinggiannya. Ohoi Kebav letaknya agak rendah, kira-kira 30 meter dari Ohoi Keratat, sedangkan jarak antara kedua pemukiman sekitar 200 meter. Sementara nama bukit/gunung itu sendiri konon sesuai dengan nama seorang moyang yakni “TE MASBAIT” yang dimakamkan di puncak bukit tersebut.
Sebagai kenangan maka oleh penduduk dalam kerja sama dengan Marga Masbaitubun dan Marga Kelanit – Marga Renyut dan Marga Tallaut lewat suatu pertemuan dengan Panitia Pembangunan Obyek “Taman Ziarah Kalvari Masbait” yang dihadiri Kepala Desa Kelanit bersama aparatnya, maka telah dicetuskan suatu kesepakatan bahwa :Pemungaran Makam “TE MASBAIT” dimasukkan sebagai bagian dari Program Kerja Panitia dan semuanya telah diresmikan pada tangal 20 November 1993,    oleh Bupati Maluku Tenggara Drs. Hi.H.A. Rahayaan dan Pemberkatan oleh Uskup Diosis Amboina Mgr.A.P. Sol MSC lewat Perayaan Misa Konselebrasi.
Dalam budaya orang Kei setiap Kampung mempunyai WOMA. Biasanya pusat Kampung atau Woma itu letaknya di depan rumah atau halaman/Kintal MITU DUAN (Imam Adat). Mitu Duan selalu membawa persembahan yang ditentukan sesuai dengan keadaan masing-masing Ohoi / Kampung. Dan karena merupakan budaya, maka apabila kita meninjau setiap kampung di seluruh kepulauan Kei ini, maka sebagian besar telah dibangun suatu tanda untuk menentukan letak Woma menurut budaya Kei yang dianggap sakral itu.
Demikian pula dengan kedua pemukiman yang sementara diperbincangkan, juga memiliki hal yang sama, Ohoi Kebav mempunyai Woma bernama “BUTOROK” sedangkan Ohoi Keratat mempunyai Woma bernama “ EL TAMHER”
Keempat Marga masing-masing sebagai ‘RAHANYAM’ menurut tatanan budaya Kei juga mempunyai nama tersendiri, namun keempat Marga ini merupakan satu kesatuan dalam bertindak, berperang dan sebagainya.
Keempat Marga ini telah menjalin suatu kerukunan Marga yang sampai kini tetap terpatri dalam sejarah kampung ini dengan sebutan ‘YAMIFAK’ yaitu :LEFTEUW-KILMAS-RUMYAAN dan KELANIT. Keempat Marga inilah yang pada awalnya bersatu, dan merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Kelanit ini.
Setiap Marga/Faam masing-masing mempunyai nama rumah atau rahan dengan sebutan sebagai berikut :
­ Faam Lefteuw ni rahan meman : RAHAN YABRU
­ Faam Kilmas ni rahan meman: RAHAN NGIMAS atau NGILMAS.
­ Faam Rumyaan ni rahan meman: RAHAN LAR DIT
­ Faam Kelanit ni rahan meman  :  RAHAN KURVEL.
Kalau tidak ditelusuri dengan baik maka nama Woma, Rahan dan sebagainya tidak akan diketahui banyak orang terutama kaum generasi muda.
Rahan adalah nama umum untuk rumah yang dulu dihuni oleh suatu keluarga besar atau Marga.
Faam adalah nama dari Kepala Marga atau keluarga besar tertentu.
Keempat Faam ini kemudian menggabungkan diri menjadi satu dan diam di bagian Timur pada lereng bukit di tepi pantai yang sampai sekarang dikenal dengan nama ‘ELTIMUR’. Sebelum kemudian Marga Kelanit secara berangsur-angsur pindah ke tempat lain seperti Kolser dan Langgur karena suatu alasan tertentu.                         Penulis selalu membatasi diri untuk menjelaskannya.
Untuk berapa lama orang bermukim di Eltimur selama ini tidak diketahui dengan pasti, hanya bahwa kemudian mereka pindah lagi ke arah Selatan ke daerah yang sampai kini lazim disebut “OHOI VIHAN” [1] tepatnya di bagian ujung Utara kampung Kelanit sekarang. Permukiman atau perkampungan mereka ini bertahan sampai awal abad ke XX (sekitar tahun 1905 – 1910)
Kepindahan moyang kita dari puncak ke lereng bukit akan menimbulkan pertanyaan : “Mengapa mereka harus turun dan bergabung menjadi satu?” Dalam kisah kisah lama hal itu tidak disebutkan namun penulis berkesimpulan bahwa ada beberapa alasan yang kuat yakni :
1.      Tingkat peradaban mereka sudah tinggi.
2.      Adanya rasa persatuan dan kekeluargaan yang kuat yang dikenal sebagai “ain ni-ain” yang diakibatkan oleh perkawinan.
3.      Faktor keamanan di daratan Kei Kecil, khususnya di lingkungan wilayah pemukiman yang semakin mantap.
4.      Mempermudah transportasi kebutuhan hidup sehari-hari
5.      Dan lain-lain
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pada awal abad ke XX,  kampung Kelanit yang pada waktu itu disebut “GELANIT” dipindahkan lagi kira-kira 200 meter ke arah Selatan. Orang tidak akan percaya setelah melihat kenyataan itu, karena sekarang penduduk makin bertambah, sehingga orang malah membangun kembali wilayah pemukiman ke arah Utara sampai ke perbatasan kampung lama yang sejajar dengan lokasi pintu gerbang masuk ke Taman Ziarah (Gapura)
Untuk jelasnya hal ini dapat dilihat pada peta sederhana Desa Kelanit sekitar tahun 1905 terlampir.
Alasan kepindahan ini terutama disebabkan karena alasan kesehatan, sebab kalau kita perhatikan di sepanjang pinggir pantai Kampung Lama (Ohoi Vihan), masih terdapat beberapa Haut (Kuburan Leluhur) yang berupa tembok batu (lutur) berbentuk persegi dengan ukuran kira-kira 3 x 3 meter dengan tinggi 1 meter.
Menurut kebiasaan waktu itu, bila ada orang meninggal maka peti mati dibuat dari sepotong kayu bulat besar yang dipahat bagian atasnya seperti kotak persegi panjang. Setelah itu jenazah dimasukkan ke dalam lobang kayu pahatan tersebut, kemudian tanpa menggali kubur, jenazah tersebut diusung dan diletakkan di atas tanah dalam Haut tersebut.. Karena tidak ada gua di sepanjang pantai, maka dibuat tembok/lutur batu sebagai pengganti gua dan dijadikan sebagai pekuburan terbuka. Keadaan seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan bagi penduduk setempat.
 Ada pula cerita lain bahwa pada suatu ketika seorang dari suku Bugis yang biasa datang menjual emas dan mengetahui sedikit ilmu nujum. Penduduk minta bantuannya untuk melihat keadaan Desa dan pada akhirnya mereka dianjurkan untuk memindahkan lokasi pemukiman.
Meskipun demikian kita cenderung pada cerita bahwa kepindahan ini atas anjuran dari Bapak Prefektur Apostolik Dr. MATHIAS NEYENS MSC atau TUAN BUN yang disambut baik oleh penduduk kampung Kelanit waktu itu.[2]
Awalnya lokasi pemukiman itu seperti yang tertera pada Denah terlampir. Melihat Denah tersebut memang tidak sesuai dengan keadaan jumlah penduduk pada waktu itu, hal mana disebabkan oleh:
a.       Perpindahan ke tempat baru tidak serentak, sehingga ada beberapa keluarga yang masih menetap di lokasi pemukiman lama dan Ohoivait.
b.      Satu rumah masih menampung lebih dari satu rumah tangga.



[1] Artinya kampung lama
[2] Menurut penuturan nara sumber Bpk. Andreas Kilmas.

Nama Desa Kelanit


Bahwa sejarah dalam arti luas merupakan salah satu kebutuhan vital suatu bangsa yang berbudaya tinggi, sekaligus merupakan salah satu batu dasar  untuk melangkah ke depan.
Sejarah sangat menunjang pembangunan tingkat pribadi, keluarga, desa, regional, pun nasional. Bahkan pembangunan dunia internasional. Yang dilakukan disini, terutama pembangunan masyarakat desa yang tengah dan yang akan kita hadapi.
Secara khusus bahwa dari generasi ke generasi sepantas nya orang patut mengetahui latar belakang penggunaan sua tu nama, dimana nama tersebut barangkali turut mempengaruhi sikap dan tingkah laku termasuk wataknya. Lebih khusus lagi generasi muda kampung Kelanit yang mayoritasnya kurang mengetahui dengan pasti bahkan masih keliru dan itu mengakibatkan salah pengertian atau konflik di antara kita. Hal ini menurut kami tak boleh diang gap remeh karena. Nama desa “KELANIT “ saja akan nantinya menimbulkan permasalahan yang otomatis akan merupakan salah satu penghambat dalam melestarikan persatuan  dan kesatuan di desa ini. Hal ini disebabkan karena cerita lisan yang beragam versi, ditambah pula bahwa pihak Gereja Katolik sudah resmi menggunakannya sejak agama masuk di kampung ini.
Memang sudah disinggung diatas bahwa jangan menganggap masalah sepele, namun sebaliknya bila diteliti dengan saksama, sebenarnya hal itu bukanlah masalah yang sulit dipecahkan.
Biarpun Gereja sudah resmi menggunakannya, namun ini bukanlah suatu ajaran resmi Gereja Katolik atau bukan suatu Dogma Gereja.
 Oleh karena itu penulis ingin meluruskannya atas dasar cinta kepada desa Kelanit, terlebih sebagai putera asli desa ini, yang merasa bertanggung jawab untuk membantu meng atasinya sesuai kemampuan yang ada.Jika tidak demikian maka ini akan tetap menjadi salah satu masalah sosial dari masa ke masa.
Masalah sosial yang sudah berlangsung selama ini juga merupakan akibat masuknya penjajah bangsa Barat. Apa yang kami utarakan di sini berdasarkan hasil penelitian penulis, termasuk hasil wawancara dengan Bapak Andreas Kilmas[1] pada bulan Januari 1979, dan juga dengan Bapak Guru Pensiunan Salvator Lefteuw[2] pada tahun 1980, dan Bapak Kalean[3], dan dari beberapa narasumber lain yang tak sempat disebut namanya satu persatu.


[1]   Bapak Andreas Kilmas ini termasuk salah satu tokoh sejarah lisan di desa Kelanit pada abad ke XX yang dapat diandalkan.
[2]   Beliau adalah guru yang paling lama menetap di kampung ini.
[3]   Bapak Kalean berasal dari Tanimbar Kei tahun 1994