Selasa, 01 Maret 2011

2. Totemisme

Kepercayaan yang disebut “TOTEMISME” : juga merupakan budaya yang sudah lama berkembang di masyarakat Kelanit.
Khusus di kampung ini ada sejenis ikan puri dalam bahasa Kei disebut “NGABIR” yang menjadi ikan pusaka karena ikan ini sudah sejak lama ada dan ditangkap sejak leluhur sampai turun-temurun.
Ikan’ NGABIR’ sebenarnya termasuk ikan yang hidup di laut dalam, akan tetapi ikan Ngabir di sini memiliki kelainan karena sejak ratusan tahun keadaannya sama saja. Ikan ini pada masa tertentu dapat berkumpul di dekat pantai diantara pohon-pohon bakau dan secara tradisional dapat ditangkap pada waktu meti Kei yaitu dari bulan Agustus sampai bulan November pada kedalaman rata-rata 50 cm.
Adanya jenis ikan ini bagi masyarakat Desa Kelanit waktu lalu, dapat dihubungkan kembali dengan legenda tentang kisah perjalanan “NEN TEIDAR” yang sakti itu dalam perjalanan ke arah Utara setelah terjadinya DANAU ABLELdi desa Ngilngof. Dalam dongeng rakyat yang terkenal, di bagian Barat Laut Kei Kecil ini diceritakan pula bahwa bekal yang dibawa oleh Nen Teidar tertumpah di teluk “UUN” dan berubah menjadi ikan ngabir, sedangkan airnya yang hijau kekuning-kuningan itulah yang menyebabkan warna laut teluk ini pada waktu waktu tertentu berwarna seperti itu.
Berikut akan dijelaskan tentang proses penangkapan ikan ngabir. Kalau kita ikuti dengan saksama maka dalam proses ini dari awal sampai tuntas sudah terlaksana di dalamnya penghayatan sila-sila dalam Pancasila.
Bila Ngabir sudah masuk di teluk Uun, maka Tuan Tanah (Marga Rumyaan) memasang sasi (Hawear) di tengah teluk. Hawear diikat pada sebatang kayu yang cukup tinggi sehingga bila air pasang tidak terendam air laut, dan tetap kelihatan sekaligus ia membawa persembahan dengan doa adat (toar teroman) kepada yang empunya ikan (Nen Teidar) untuk tetap menjaga agar ikan ngabir jangan beralih ke laut dalam atau ke tempat lain.
Sejak saat itu orang dilarang keras untuk menangkap ikan tersebut sendiri-sendiri dan semua wanita yang hamil dilarang keras berjalan kaki melewati teluk itu bila air meti. Mereka harus berjalan keliling lewat bagian darat.
Dulu orang-orang tua mengatur tempat penangkapan dengan susunan batu atau lutur berbentuk huruf “W” dan akhirnya berbentuk huruf “V”. Timbul pertanyaan : mengapa huruf “W” dan “V”? Ikuti penjelasan berikut ini:
Mulanya orang menggunakan huruf “W” karena pada bagian pusat penangkapan yang disebut TIVUN, berdiri dua Kepala Marga yaitu Marga Kelanit dan Marga Rumyaan seperti tertera dalam gambar sketsa terlampir.
Ketinggian Lutur atau tembok batu itu berkisar antara 75 cm hingga 1 meter saja, supaya pada waktu air pasang, ikan dapat masuk dan berkumpul di dalam teluk sehingga mudah ditangkap pada waktu air surut / mati nanti.


Memurut kisah yang pernah penulis ungkapkan sebelumnya, Marga Kelanit tidak menetap di kampung ini melainkan telah berangsur-angsur pindah ke desa-desa tetangga sehingga kemudian keadaan berubah. Karena kepindahan itu maka posisi Lutur oleh para leluhur diubah kembali menjadi berbentuk huruf “V”. Dengan perubahan bentuk dari huruf “W” menjadi “V”, maka Tivun tetap dijaga oleh Marga Rumyaan sebagai tuan tanah sampai sekarang.
Zaman berganti seperti peribahasa Kei yang bunyinya; “LUS NABTU NE LAWADAR ENSOAK – TUV ENSU NE HAAR ENDAT – TUUR ENMEL NE AINGAM ENSAK” yang berarti Burung Lus sudah tua dan pohon lawadar (sejenis pohon di pantai) sudah merunduk, generasi lama beralalu-generasi baru datang-kokoh bertumbuh dan pohon/agama tegak semakin canggih.
Keadaan lokasi penangkapan itu kini berubah total. Sejak kurang lebih seabad yang silam tembok batu sudah dirusak oleh tangan manusia dan pukulan ombak, bahkan ada yang terpendam oleh pasir bercampur lumpur.
Pada waktu yang kemudian penduduk menggunakan daun kelapa yang ditindis dengan batu sebagai pengganti tembok ‘Lutur’ dan berbentuk huruf “V” ; ini dipakai dan diganti setahun sekali pada setiap musim meti Kei.
Selanjutnya setelah pemasangan Sasi (Hawear) Tuan Tanah akan lebih awal menyampaikan pemberitahuan kepada Mitu Duan (Kepala Marga Kilmas) selaku pemimpin pemukiman yang melaksanakan fungsi pemerintahan adat pada masa itu. Namun setelah pengangkatan Kepala Kampung maka kemudian Tuan Tanah melapor kepada Kepala Kampung selaku pemegang pemerintahan Adat tertinggi di kampung. Setelah pimpinan kampung/desa diberitahu maka diadakan musyawarah kampung antara Kepala kampung, Mitu Duan, bersama tuan tanah dan Kepala/Saniri semua Marga untuk menetapkan hari jatuh tempo mengadakan panen ikan pusaka ini. Hasil musyawarah ini disampaikan kepada seluruh masyarakat Kampung Kelanit untuk menyiapkan alat penangkap ikan ‘Ngabir’.
Dulu pada masa para leluhur (Teteen) biasanya berita ini disampaikan juga kepada yanar-urar (sanak-saudara)yang kawin di kampung-kampung tetangga agar mereka turut hadir pada waktu itu, karena mereka juga akan mendapat bagian dari hasil tangkapan itu, karena menurut kebiasaan zaman dulu setelah ikan ditangkap, dikumpulkan semua, dan baru dibagi sama rata kepada semua keluarga termasuk Yanur yang datang. Maklumlah bahwa saat itu penduduk masih sedikit sehingga semua mudah diatur, berbeda dengan keadaan berikutnya, apalagi pada waktu sekarang.. Jadi pada saat itu benar-benar keadilan sosial.dapat terlaksana.
Sudah disinggung oleh penulis bahwa dalam proses penangkapan ikan ini benar benar para leluhur (Teteen) telah melaksanakan azas azas Pancasila. Mulai dari Tuan Tanah menyampaikan’ Toar Teroman’(doa syukur) yaitu Sila ke Tuhanan. Kemudian ada rasa kebersamaan dan melapor kepada pimpinan kampung, yaitu ada dua sila yang sekaligus dilaksanakan yakni Kemanusiaan dan Persatuan, sedang musyawarah merupakan pelaksanaan sila keempat.Lalu sila kelima yaitu Keadilan Sosial terlaksana pada saat pembagian hasil tangkapan kepada seluruh keluarga termasuk Yanuur secara merata.
Sengaja masalah ini dikaitkan oleh penulis supaya generasi zaman sekarang dapat membuktikan bahwa Pancasila yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia waktu dulu sudah dilaksanakan oleh leluhur kita di Kampung Kelanit juga.
Mari sekarang kita lanjutkan dengan persiapan alat penangkap ikan Ngabir. Kaum perempuan dapat menggunakan ayak-ayak yang biasa digunakan untuk mengayak sagu atau enbal dan sebuah seloi atau yafar (lamin). Sedang kaum pria biasa menggunakan sebuah alat penangkap ikan tradisionil yang disebut “MUTUT’. Alat tersebut terbuat dari lidi daun kelapa yang dianyam dengan tali ditopang beberapa bilah bambu.
Cara memegang alat penangkap (“MUTUT”)
Tangan kanan / tangan kiri memengang (no1) ; Tangan kanan / tangan kiri memengang (no2)
Cara menimbah ikan:
Masukkan alat tangkap kedalam air seperti pada gambar II tapi harus diingat bahwa no 1 agak terangkat sedikit dan bila ikan sudah masuk, bagian tangan di no 2 dengan cepat diangkat diikuti dengan no 1 ; lalu tumpahkan ke dalam sampan/perahu atau seloi. Setelah itu kembali seperti sikap semula. Bila ikannya banyak, maka tangan kita digerakkan cepat dan berulang-ulang sehingga banyak ikan yang diperoleh.
Setelah selesai penangkapan ikan Ngabir tersebut, maka semua hasil tangkapan dikumpulkan dan dibagi secara merata. Keadilan sosial yang sangat asli ini tidak dapat dipertahankan seperti terungkap dalam Peribahasa di atas tadi.
Kondisi sosial sudah berubah 180 derajat, sehinga pada akhirnya saat panen raya, masing-masing orang menangkap sesuai kemampuannya. Tak ada lagi pembagian-pembagian yang merata karena manusia bertambah banyak.
Penangkapan ikan Ngabir terakhir yang terjadi dengan cara tradisional terjadi pada musim meti Kei bulan Oktober 1980, beberapa minggu setelah upacara pentabhisan Pastor John Lefteuw MSC di Gereja Kathedral Langgur.
Setelah tahun 1980, ikan Ngabir tidak dapat lagi dengan mudah ditangkap secara tradisional. Hanya ada sedikit ikan Ngabir memasuki teluk Uun. Salah satu penyebabnya ialah sebelum mereka sempat masuk ke teluk, ikan itu sudah tertangkap oleh alat-alat penangkap lain seperti sero gantung atau bagan. Mungkin ada sebab-sebab lain yang dapat diungkapkan melalui penelitian ilmiah.
3. Kepercayaan kepada Roh Leluhur :
Seperti keadaan umumnya pada masyarakat Kei, penduduk di Kampung Kelanit tidak lepas dari kepercayaan yang satu ini. Hal ini biasa ditemukan pada acara-acara tertentu misalnya pada saat ‘dok vain’
Mengawali semua rentetan acara dek vain, acara pertama adalah saat pihak Mangohoi Utin akan menaikkan doa kepada para leluhur agar turut hadir dan merestui pertemuan adat tersebut agar tidak mengalami hambatan. Caranya pihak Yanur menyerahkan satu tahil mas disertai sejumlah uang kepada pihak Mangohoi Utin, kemudian barulah Mangohoi Utin membuka pertemuan adat tersebut
Dalam susunan adat Kei hal ini disebut Nit Saksak Vatvatuk .
Contoh lain : Pada acara Fa i’ fak (perpisahan) bagi seseorang yang akan ke luar meninggalkan desa untuk sesuatu maksud tertentu misalnya : pergi berperang, melanjutkan studi, atau bertugas ke tempat lain.
Kesemuanya ini tersimpul dalam satu peribahasa Evav yang berbunyi :”TAFLUR NIT NE TSOB DUAD – HOAR TUVLAIYO”
Jadi kesimpulannya adalah bahwa masyarakat Kampung Kelanit juga percaya, bahwa roh leluhur / orang yang telah meninggal, turut menentukan nasib kita yang masih hidup.
4. Kepercayaan akan kekuatan gaib :
Kepercayaan bahwa pada diri seseorang terdapat kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi manusia lain.
Hal ini terbukti misalnya orang Teteen kampung ini juga percaya akan seseorang untuk meramalkan sesuatu dengan menggunakan daun-daun, air putih di gelas atau sisa-sisa kopi di gelas dan sebagainya.
Dapat dicatat pula bahwa pada akhirnya keadaan yang telah disebutkan itu dapat membawa dampak positif maupun negatif. Dikatakan demikian karena ada orang yang menggunakan kekuatan magic itu untuk maksud baik atau menguntungkan misalnya menyembuhkan penyakit, mencegah bahaya, namun sebaliknya ada orang yang menggunakannya untuk merugikan orang lain. Maka dapat disimpulkan bahwa ada praktek white magic, tapi ada pula praktek black magic yang merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran agama yang datang ke kampung Kelanit.ini.
Demikianlah telah diuraikan kepercayaan asli yang ada di kampung ini agar para pembaca dapat mengetahuinya.

1 komentar:

  1. Nilai-nilai yang perlu dilestarian, mungkin seharusnya perlu dibicarakan kepada kampung2 lain di daerah Kolser dan letman agar di dalam teluk tidak boleh digunakan alat tangkap ikan seperti bagan, ddl. yang dapat menangkap dalam skala besar karena proses rotasi alami ikan ngabir bisa putus. tapi sayang sudah terlambat...tapi mudah-mudahan dengan booningnya rumput laut dapat mengurangi upaya tangkapan ikan untuk mata pencharian dan makan sehingga kelestatrian ikan dan SDA lain, khsusnya biota laut bisa menjadi kemabali normal dan dapat dimanfaatkan lagi namun tetap memperhatikan kelestarian. GBU.

    BalasHapus